Dilema Besar Umat Muslim Soal Kesalaahan Terjemahan dan Tafsir Al Quran
Al Quran sesungguhnya telah terbukti bisa menuntun seseorang dari padang pasir yang jauh dari peradaban menjadi orang berahlak paling mulia seperti Rasulullah. Tuhan Yang Maha Esa Sendiri sampai Menyebut beliau Uswatun Khasanah atau Suri Teladan sebaik-baiknya. Karena itu Mustahil di dalamnya Allah Mengajarkan melakukan hal yang buruk dan jahat tanpa alasan yang benar, adil, dan rasional.
 Allah pun telah Janji akan Menjaga dan Memelihara kelurusan dan kemurnian ajaranNya di Al Quran, hingga akhir jaman. Tetapi patut ditekankan, penerjemah dan penafasir bisa salah, bahkan terbujuk godaan dan bujuk rayu setan dan iblis. Telah terbukti, terjemahan dan tafsir Al Quran yang dipegang Umat Muslim Indonesia selama ini, banyak mengandung kesalahan fatal. Tapi memang, dalam persoalan ini, Umat Muslim harus berhadapan dengan dilema besar antara mengatakan benar atau salah ulama'ku dan mengatakan yang benar adalah benar, yang salah tetap salah, meski itu dari orang yang dianggap ulama'.
Patut dicamkan baik-baik, bukan benar atau salah agamaku, tetapi benar atau salah pendapat ulama'ku. Tidak ada yang salah dalam Ajaran agama asli dari Tuhan Yang Maha Sempurna. Yang bisa melakukan salah dan terbujuk bisikan iblis dan setan ialah manusianya, termasuk ahli kitab, pewaris kitab, atau biasa disebut ulama' dalam bahasa Arab. Sebelum kasus Pak Ahok dan Al Maidah 51 mencuat,Â
hingga Gubernur DKI itu dituntut Umat Muslim yang kurang paham hakikat Agama Allah dari seluruh Indonesia, Allah telah Memberi satu peringatan untuk segenap Umat Muslim dengan terkuaknya perbuatan jahat ulama' abal-abal yang mempunyai jutaan pengikut, tetapi penipu dan pembunuh, Taat Pribadi. Dan ulama' penjual narkoba, penipu, dan penganut seks bebas, Gatot Brajamusti. Tapi sepertinya, umat tidak peka soal Petunjuk Allah itu, maka mau saja ditunggangi ulama' cari muka dan ulama' bermuka dua.
Sebenarnya, ahli kitab Muslim, walau hanya mewarisi Ilmu Bismillah, sesungguhnya telah mewarisi agama dan Kitab yang sebaik-baiknya. Tetapi di antaranya, ada yang kurang rasa takutnya pada Allah, hingga lebih mementingkan urusan lebih kecil, yaitu kepentingan pribadi (elompok) dan mengabaikan kepentingan lebih besar dan luas, yaitu kepentingan manusia secara keseluruhan (seluruh alam). Salah satu syarat jadi ulama' adalah memiliki rasa takut yang besar pada Allah karena tahu IlmuNya. Kalau tak punya rasa takut pada Allah, walaupun ilmunya setinggi gunung, dia bukan ulama', tetapi ahli kitab yang ingkar (kafir). Ulama' seperti ini banyak bercokolan di negeri ini dari dulu. Maka hati-hati dan waspadalah.
Ada banyak kesalahan fatal dalam penerjemahan dan tafsir Al Quran yang dipegang umat Muslim hingga kini. Ada kemungkinan, itu karena terjemahan dan tafsir itu tak disusun oleh orang yang betul-betul ulama' atau ilmuwan yang memiliki sifat sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya atau benar ilmunya), tablig (obyektif), dan fathonah (cerdas). Beberapa fakta menunjukkan terjemahan dan tafsir itu tidak betul-betul jujur dan obyektif, karena ada campur tangan kekuasaan dan politik kotor di dalamnya.Â
Pada saat penerbitan terjemah dan tafsir Al Quran itu di negeri ini terjadi goro-goro besar. Pada dekade penyusunan dan penerbitannya, ulama' penafsir dan penerjemah Al Quran, Buya Hamka, mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI (Dewan Ulama'), yang dibentuk Orde Baru dengan alasan sudah tak sejalan dengan rezim yang berkuasa. Ricuh soal perayaan bersama hari besar keagamaan, yang membuat MUI mengeluarkan fatwa, tapi kemudian disuruh mencabut, sebenarnya hanya alasan menyingkirkan ulama' yang kritis. Terjemah dan tafsir Al Quran mulai dibuat tahun 1980, Hamka mundur 1981, tapi benar-benar aneh dan janggal, ulama' ahli tafsir dan penerjemah Al Quran, ketua Dewan Ulama' malah tak dilibatkan dalam penerjemahan dan penafsiran Al Quran.
Beberapa tahun setelah itu, muncul kritik pedas yang heboh di Majalah Monitor, oleh Aswendo Atmowilo. Pak Aswendo dengan cerdas mengungkapkan bahwa dua ratus juta Umat Muslim, ternyata lebih patuh dan lebih takut pada Presiden Suharto daripada pada Nabi Muhammad. Maka Presiden Suharto ditempatkannya di nomor satu, sedang Nabi Muhammad di nomor sebelas sebagai orang paling berpengaruh di Indonesia kala itu. Tetapi Umat Muslim tidak peka soal kritik itu, karena tak paham konteksnya.Â
Umat Muslim langsung demo, menuntut Pak Aswendo dipenjara karena menghina Nabi. Padahal, sedikitpun hal itu tidak mengurangi kemuliaan Nabi. Kalaupun Pak Aswendo salah, tak dipenjara pun, orangnya pasti dapat hukuman dari Allah, jika itu benar-benar diniatkan menghina Nabi dan menghancurkan Agama Allah. Tapi nyatanya sama sekali tidak. Setelah dipenjara, Pak Aswendo jadi semakin jaya dengan karya-karyanya.
Dari kedua goro-goro itu, sepertinya bisa ditangkap ada yang tidak beres. Lebih-lebih, semua itu diperkuat oleh berubah haluannya Presiden Suharto ke kelompok agamis Muslim, padahal sebelumnya terus membungkam dengan teror dan kekerasan, hingga terjadi peristiwa berdarah Malari dan Tanjung Priok. Kemudian, hal itu diikuti seorang penganut agama Jawa yang sangat kental, yang mempromosikan agama Jawa diterima di Indonesia seperti Presiden Suharto secara khusus pergi haji, padahal agamanya belum pepak. Apalagi, mau saja menambahkan nama Muhammad di depan namanya.