Ternyata, jika dikaitkan dengan terjemahan dan tafsir Al Maidah 51, yang diterjemahkan dan ditafsiri oleh Kementerian dan Departemen Agama, yang selalu sendiko dawuh pada Sang Jenderal Besar bintang lima junjungannya, itu merupakan bagian dari upaya politik Presiden Suharto untuk cuci tangan dari segala kejahatan politiknya. Dengan terjemah yang tidak tepat itu, mereka berusaha mengarahkan pikiran rakyat, terutama Umat Muslim yang mayoritas, bahwa auliya' adalah pemimpin, pemimpin adalah auliya', maka semua tindakannya adalah benar dan suci sesuai Titah Ilahi. Padahal Titah Ilahi Sendiri sangat jelas, lakukan yang baik-baik dan tinggalkan yang buruk dan membawa kerusakan (ibadah). Dan taat melaksanakannya disebut takwa.
Benar-benar salah besar kalau auliya' diartikan sebatas pemimpin. Auliya' sudah pasti bisa memimpin dengan baik, tetapi pemimpin belum tentu seorang auliya' yang bisa memimpin dengan baik. Kunci menjadi auliya' adalah berdasarkan banyaknya kebaikan dan bersihnya diri dari segala keburukan dan kejahatan. Ada kemungkinan pemimpin termasuk auliya, karena ahlaknya yang mulia, tapi tidak untuk pemimpin seperti Suharto atau pemimpin-pemimpin lain yang masih berkelakuan buruk, tidak adil, apalagi jahat dan kejam.
Di Al Quran, begitu jelas dan terperinci dibedakan soal yang baik dan yang buruk/yang jahat. Soal baik-buruk, bila Umat Muslim terutama ulama' meneladani Allah, maka tidak akan pandang bulu siapapun orang itu, biar Nabi sekalipun, jika salah harus dianggap salah, jika benar harus dianggap benar, karena Allah Sendiri pernah menegur Nabi saat berpaling dan bermuka masam pada orang buta. Karena itu patut dicamkan baik-baik oleh Umat Muslim, Yang Maha Benar hanya Allah.Â
Umat Muslim tak perlu mati-matian membela siapapun, termasuk ulama' yang jelas-jelas salah. Apalagi yang membohongi umat dengan memutar balik Ayat-ayat Al Quran. Inti beragama ialah terus memperbaiki dan menyempurnakan diri dan segala yang salah dan belum sempurna. Jika terjemah dan tafsir Al Quran salah pun, harus segera diperbaiki dan disempurnakan.
Tetapi rumitnya, Umat Muslim di negeri ini memang harus menerima tamparan telak, karena kebohongan para ulama' itu langsung diresapkan ke inti paling mendasar, yaitu ke dalam terjemahan Kitab Sucinya. Sehingga kalau Umat Muslim harus berbesar hati menerima adanya kesalahan mendasar itu, bisa-bisa dianggap salah semua seluruh pemahaman agama Muslim di negara ini. Tapi kalau berpikir sempit, tidak mengakui kesalahan itu dan segera memperbaikinya, berarti akan menjerumuskan diri sendiri dan seluruh generasi mendatang untuk ikut tersesat dan menuai konflik batin dan konflik keagamaan, secara personal, internal agama, maupun eksternal agama tanpa kesudahan.
Bukan rahasia, konflik batin karena pemahaman agama yang salah bisa menjurus ke kegilaan. Banyak orang yang memahami agama secara salah dan keras kepala bisa disesatkan dan dipermainkan setan, terutama setan dari bentuk jin yang berbisik di hati, yang disangka dan dikiranya Tuhan. Jika tidak sampai begitu, pasti ada kebingungan, kegamangan, juga tidak adanya ketenangan dan ketenteraman batin, meski menyerap banyak pengetahuan agama. Padahal, agama merupakan sumber untuk mendapatkan keyakinan, ketenangan, dan ketenteraman batin. Malah seringkali terjadi, karena adanya kebingungan, kegamangan, juga tidak ditemukannya ketenangan dan ketenteraman batin itupun bisa membuat orang frustasi dan lebih memilih jadi brutal, meremehkan dan membenci agama yang dipelajarinya.
Bersambung,,,,,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H