Jalasveva Jayamahe. Sejarah seakan menjadi saksi bisu kejayaan Indonesia sebagai negara maritim dengan sumber daya alam kelautan yang melimpah ruah. Selama berabad-abad yang lalu, sumber daya kelautan menjadi tumpuan bagi kekuatan ekonomi dan politik Nusantara. Melihat konteks geografis Indonesia sebagai negara maritim yang mempunyai belasan ribu pulau, kekuatan utama Indonesia berada di aspek kelautan. Namun pasca Indonesia dijajah, sepertinya bangsa ini melupakan nenek moyangnya yang merupakan seorang pelaut.Â
Besarnya potensi kelautan di Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal akibat tiada perhatian khusus dalam pengelolannya. Beberapa kali wacana untuk memajukan aspek kemaritiman dicanangkan, namun tidak berlangsung lama wacana tersebut tergerus dan dikesampingkan karena perubahan prioritas negara.
Kini, laut Indonesia yang dulunya menjadi sumber kejayaan justru berbalik menjadi tempat dimana banyak rakyat menderita. Besarnya potensi sumber daya ikan di laut Indonesia mengundang berbagai kapal ikan asing tertarik untuk melakukan penangkapan ikan yang tidak jarang dilakukan secara ilegal atau dikenal pula dengan sebutan Penangkapan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (dikenal pula sebagai IUU Fishing yang merupakan singkatan dari Ilegal, Unreported and Unregulated Fishing).Â
Maraknya praktik IUU Fishing menjadi sebuah ancaman yang tidak hanya menyasar pada sumber daya laut, namun juga sumber daya manusia. IUU Fishing memang hanya menjadi salah satu kejahatan di bidang perikanan, namun kejahatan IUU Fishing ini memiliki keterkaitan dengan berbagai kejahatan lintas negara, salah satunya perdagangan orang. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan yang tentunya mengusik kemanusiaan, hati nurani, dan harga diri bangsa Indonesia. Terlebih jika perdagangan orang ini terjadi di laut Indonesia dan melibatkan rakyat Indonesia.
Kebutuhan awak kapal untuk menangkap ikan biasanya terpenuhi melalui upaya perekrutan warga-warga lokal dengan kondisi ekonomi terpuruk di wilayah sekitar pesisir. Keterdesakan ekonomi inilah yang membuat banyak korban tergiur menjadi seorang Anak Buah Kapal (ABK) ikan. ABK ikan Indonesia tidak mengetahu jenis pekerjaan apa yang akan dihadapinya. Kondisi kerja yang buruk dengan ruang gerak, akses komunikasi, dan pengawasan dari pihak berwenang yang sangat terbatas ditambah lagi dengan instrumen hukum yang belum memadai membuat mereka sangat rentan untuk dieksploitatif. Bahkan Greenpeace dalam salah satu artikelnya menyebutkan perkerjaan kapal perikanan identik dengan '3D', yakni dirty, dangerous and demeaning.
Perdagangan orang dalam lingkup industri penangkapan ikan bukan suatu fenomena baru. Namun, kasus ini sering dibiarkan berlalu tanpa penanganan hukum yang memadai. Para korban direkrut sebagai ABK kapal dan dipaksa bekerja secara ilegal, biasanya diikuti dengan penyitaan surat dokumen identitas untuk diganti dengan identitas palsu, atau bahkan tanpa surat legal sama sekali yang menyertai. Dalam pelaksanaannya juga melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan. Perusahaan kedok (shell company) didirikan agar kegiatan kotor tidak terpantau dan hasil penangkapan ikan ilegal ditransfer ke kapal lain di wilayah zona eksklusif Indonesia untuk mencegah penangkapan oleh pihak berwenang. Hingga akhirnya tangkapan ikan memasuki rantai pasokan global yang sah tanpa diketahui sumber asal dan korban manusia dibalik tangkapan tersebut.
Dinamika kejahatan yang terjadi di seputar IUU Fishing memberikan sinyal bagi Indonesia untuk menanggapi IUU Fishing sebagai ancaman serius terhadap keamanan di laut. Diatas sudah sekilas digambarkan permasalahan di laut terkait IUU Fishing. Namun seperti kata pepatah 'tak kenal, maka tak sayang', ada baiknya jika dijabarkan terlebih dahulu cakupan yang dimaksud dari istilah IUU Fishing dalam bahasa Indonesia. Unsur pertama, 'penangkapan ikan ilegal' ditujukan pada tindakan kapal-kapal nasional maupun asing penangkap ikan yang beroperasi di perairan kawasan tertentu tanpa izin atau tanpa mematuhi peraturan perundang-undangan negara yang menguasai perairan tersebut.
Selanjutnya adalah 'penangkapan ikan yang tidak dilaporkan'. Pada realitasnya banyak sekali perusaan atau kapal-kapal yang tidak melaporkan hasil tangkapannya baik secara sengaja atau tidak disengaja, tapi pada umumnya disengaja untuk menghindari biaya pajak. Terkait unsur ini, termasuk pula tindakan melaporkan hasil tangkapan namun tidak sesuai dengan kenyataannya kepada pihak berwenang nasional terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan 'penangkapan ikan tidak diatur' merujuk pada istilah lain yang lebih luas, termasuk dan tidak terbatas pada penangkapan ikan oleh kapal tanpa kebangsaan dan penangkapan yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization-RFMO) atau hukum internasional pada umumnya.
Penangkapan ikan berlebih yang dilakukan secara ilegal berimplikasi pada kelangkaan sumber daya perikanan. Adapun pihak yang paling dirugikan adalah para nelayan. Stok ikan di laut teritorial yang berkurang drastis menyebabkan nelayan tradisional di sekitar wilayah pesisir terpaksa berhenti bekerja karena kesulitan mendapatkan ikan. Alhasil, didorong oleh tuntutan hidup untuk mencari nafkah, tiada yang mereka bisa lakukan dengan hanya memiliki pendidikan minim selain terpaksa bekerja sebagai awak kapal pada kapal-kapal penangkap ikan. Beginilah nasib yang sering dihadapi para nelayan tradisional yang tidak memiliki keterampilan menangkap ikan profesional, mereka rentan berujung menjadi para pekerja migran. Tubuhnya dieksploitasi untuk terus bekerja dengan gaji yang tidak berimbang atau dalam kata lain mereka terjebak dengan apa yang umum disebut sebagai perdagangan orang.
Kapal-kapal yang merekrut nelayan tradisional itupun tidak jarang berlayar melintasi wilayah-wilayah terluar dari wilayah Indonesia dan terkadang sampai wilayah negara lain untuk mendapatkan ikan. Biaya untuk melakukan pelayaran tidaklah murah, maka dari itu perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perikanan menggunakan tenaga kerja murah tanpa asuransi kecelakaan kerja dan perlindungan keselamatan untuk menjaga harga produk agar dapat bersaing. Bentuk usaha perikanan kompetitif ini kemudian semakin menempatkan nelayan ke dalam resiko keselamatan kerja yang lebih besar lagi daripda dalam perikanan berbasis kuota. Perusahaan-perusahaan penangkap ikan cenderung mengabaikan para nelayan untuk memperoleh keuntungan maksimum.
Para korban perdagangan orang dalam industri penangkapan ikan mengalami perlakuan tidak manusiawi dengan mengemban beban kerja berlebihan. Situasi lingkungan hidup pekerja juga sangat keras. Para pekerja seringkali tidak mendapatkan tempat tidur, sumber daya pangan yang tidak memadai serta kurang higienis. Akibat dari perpaduan kurang makanan, jam kerja yang dieksploitatif, serta jam tidur tidak teratur membuat para pekerja  menjadi sakit dan kekurangan gizi. Diduga tingkat eksploitasi meningkat disebabkan oleh tidak tersedianya kerangka kerja hukum stardardisasi kondisi hidup dan kerja di atas kapal-kapal penangkap ikan selayaknya yang dapat ditemukan pada kapal-kapal pedagang.