Mohon tunggu...
Ivan Leonheart
Ivan Leonheart Mohon Tunggu... Guru - Seasonal Writer: Nulis Ketika Gabut Aja

Gemini | INFJ-T | Tipikal orang yang akan anda katakan "Wah.. Kok gitu?" | Listener to stories | Twitter: @IvanLeonheart English Mentor yang memutuskan untuk putar haluan menjadi Kang Kopi, tapi akhirnya putar balik jadi English Teacher lagi di Cakap | Merantau dari Jawa ke kawasan dekat ibu kota. | A Philosopher at heart, but a realist in the playlist. | A man seeking Wisdom in Life through learning Bible, dan juga belajar Konseling di STTRI | Menulis ketika bosan, sedih, senang, dan kenyang. | Jangan ditunggu tulisan selanjutnya, pasti ngga terbit - terbit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Taman Bunga Padang Pasir

25 Juli 2014   02:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:18 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Padang pasir di Merzouga, Maroko. (KOMPAS.COM/FIRA ABDURACHMAN)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Padang pasir di Merzouga, Maroko. (KOMPAS.COM/FIRA ABDURACHMAN)"][/caption] Kehidupanku berawal dari lampu terang yang kulihat saat pertama kali aku menarik nafas, dan kusadari bahwa ternyata aku sudah hadir dalam dunia. Hari demi hari, aku semakin tumbuh dan berkembang. Walaupun aku mempunyai sebuah keluarga yang menyayangiku, tapi aku belajar untuk merangkak, berdiri, dan kemudian jalan sendiri, tanpa bantuan orang tuaku, karena aku tahu mereka sibuk mencari dana untukku nantinya. Aku mulai dikenalkan dengan teman-teman saat aku mulai memakai seragam berwarna-warni untuk pertama kalinya. Aku tidak menganggap mereka menyenangkan, mungkin memang aku bisa tertawa, melompat-lompat bahagia, dan bermain bercanda gurau dengan mereka, namun apakah itu yang disebut kebahagiaan? Sebab momen itu hanya aku dapat di suatu tempat saja. Lama-kelamaan aku mulai tahu, bahwa sesuatu tidak akan kugenggam selama-lamanya. Aku mulai berpisah dengan teman-teman yang bisa membuatku tertawa, dan mereka yang biasa mengajakku bermain, ketika aku telah berganti seragam selanjutnya. Aku benci seragam ini. Seragam ini tidak berwarna warni seperti seragamku yang dulu. Teman temanku pun berubah, tidak ada satu pun yang aku kenal, dan orang pertama yang aku kenal telah berhasil mengotori seragamku yang membosankan ini dengan lumpun. Saat itu juga aku tetapkan bahwa dunia kini sudah mulai berbeda, tidak ada lagi teman untuk tertawa dan bersenda gurau. Tahun demi tahun, sudah tiga kali aku berganti seragam, dan teman-temanku sama saja, tidak ada yang asik, bahkan lebih kacaunya lagi banyak dari mereka yang dikeluarkan dari sekolah dengan bergandengan tangan. Heran, mereka bergandengan tangan, namun kenapa tidak ada senyum di wajah mereka? Bahkan mereka dibentak mati-matian oleh orang tua mereka, ada beberapa bahkan sampai adu mulut kemudian berkelahi antar orang tua. Dunia apa ini? Kenapa dunia ini begitu asing? Kenapa tidak ada lagi tawaan yang tulus keluar dari hati? Kenapa orang tertawa pada saat yang tidak lucu, dan dan sedih ketika suasana sedang gembira? Masih hidupkah aku? Atau aku yang sedang tersesat!? Tolong aku! Selamatkanlah aku dari dunia ini! Aku tidak tahan lagi akan kepalsuan-kepalsuan yang diagung-agungkan dalam dunia ini! Aku ingin duniaku kembali seperti dulu! Tidakkah ada seseorang yang mau membantuku!? Atau tidak adakah orang yang bisa membantuku!? Hari demi hari telingaku semakin rusak mendengar teriakan-teriakan aneh di dalam rumah. Tak bisa dipungkiri lagi, hidupku makin lama makin hambar. Kini ku tahu bahwa dunia ada dua, yaitu malam dan siang. Namun satu hal yang tidak berubah adalah mereka semua orang orang bodoh, semua manusia bodoh yang tidak sadar bahwa mereka hanya menikmati kepalsuan belaka! Mungkin benar aku telah berhasil bertahan selama belasan tahun, hingga kini aku pun berkepala dua. Segala pahit-asin dunia telah kurasakan, entah kenapa rasa manis kini tak pernah kurasakan lagi. Di dalam lubuk hati kini hanya ada kepedihan belaka, melihat dunia telah mengambil semuanya dariku. Teman-temanku, papa, mama, nenek, kakek, bibi, paman, semuanya telah lenyap dari kehidupanku. Kasih sayang yang kurasakan hanya dari Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang menyinariku dalam kegelapan yang selalu menguasaiku. Aku selalu bilang, "Kenapa aku harus sedih? Kenapa harus takut? Kan ada Tuhan?" ketika aku ingin lari dari rasa kesepianku ini. Di dalam hati, beda ceritanya, karena sebenarnya kesedihan belum kunjung meninggalkanku selama ini. Tak ada yang mendengarku, walau kulihat mereka mempunyai sepasang telinga yang bagus dan terpasang baik di kepala mereka. Tak ada yang melihatku, walau sepasang mata selalu ada di tiap orang yang aku temui. Tak ada yang berbicara denganku, ketika mereka berbicara pun aku tak tahu bahasa mereka, dan mereka hanya membuat telingaku sakit. Tak ada yang mengobatiku ketika aku sakit, aku hanya bisa mengandalkan tubuhku dan mentalku untuk sembuh dari segala penyakit. Dunia kini telah berubah, di mana halus dan lembutnya kulit, kini berubah menjadi pasir yang panas. Aku sedih, kenapa aku tak bisa kembali ke duniaku yang dulu? Kenapa aku harus berakhir di dunia alien ini? Sudahlah, aku sudah capek, kini saatnya aku untuk beristirahat. Aku harap, ketika mata ini terbuka nanti, dunia akan kembali seperti semula lagi. Ini harapanku terakhirku.. Semoga dengan ini, Tuhan mau mendengarkan ceritaku ini.. Dan tidak mengulanginya untuk orang lain... Salam: Hati Nurani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun