Sebahagian besar penghuni Kahyangan terhenyak kaget mendengarkan sabda Batara Guru. Mereka yang terkejut terutama adalah para pemuda-pemuda tampan yang selama ini jatuh cinta kepada We Oddang Nriwu. Keputusan Batara Guru untuk menurunkan We Oddang Nriwu ke Dunia Tengah berarti memupuskan harapan mereka untuk mempersunting gadis cantik itu. Namun mereka segera tersadar bahwa segala titah dari Batara Guru selaku penguasa Kahyangan adalah merupakan hukum yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Mereka harus menerima kenyataan ini dengan lapang dada.
Hukum telah ditetapkan di Kahyangan. Tidak ada yang bisa menolaknya termasuk oleh We Oddang Nriwu sendiri. Sebagai anak yang patuh dan berbakti terhadap orangtua, We Oddang Nriwu tentu saja menerima titah ayahandanya tercinta. Ia pun percaya bahwa keputusan itu tentunya untuk kebaikan bersama.
Pada hari Ahad sesuai perhitungan almanak di Kahyangan, sesuai petunjuk Batara Guru maka dimulailah ritual khusus menurunkan raga We Oddang Nriwu ke bumi. Jiwanya dipisahkan dari raganya. Jiwanya disemayamkan dalam istananya yang indah di Kahyangan. Jiwa We Oddang Nriwu diberi nama Sangiang Serri yang artinya penjaga keseimbangan dan sumber kehidupan. Sementara raganya dipotong sehalus-halusnya lalu dimasukkan ke dalam guci emas.
Setelah 70 hari 70 malam kembali dilakukan ritual khusus untuk membuka guci itu. Ketika guci dibuka, terciumlah bau harum semerbak memenuhi Kahyangan. Di dalam guci raga We Oddang Nriwu telah menghilang. Raganya telah menjelma menjadi setangkai tanaman yang jenisnya belum pernah ada sebelumnya.
Sang Permaisuri, Datu Palinge mengambil tanaman tersebut lalu diserahkan kepada Batara Guru. Kemudian Batara Guru memerintahkan kepada pasukan kepercayaannya yang berkekuatan 3000 ksatria, terdiri dari 1500 pria dan 1500prajurit wanita. Merekadiperintahkan untuk mengantar tanaman itu ke pusat bumi untuk ditanam dan dijaga.
Batara Guru bersabda, ”Tanaman yang berasal dari jasad putriku ini kuberi nama padi. Kalian tanamlah di pusat bumi. Kalian juga kutugaskan untuk menjaga tanaman ini agar tidak dirusak oleh makhluk apapun. Kalian juga diamanahkan untuk mengawasi penghuni bumi agar mereka senantiasa turut menjaga dan merawat padi ini. Pada waktu-waktu tertentu mereka harus melakukan ritual yang semestinya. Ingatkan pada mereka, bahwa jika mereka tidak mengikuti aturan dan tidak bersyukur kepada Sang Maha Pencipta, tanaman padi tidak akan berbuah.”
Rombongan pasukan prajurit kepercayaan Batara Guru yang membawa tangkai padi itu dikenal sebagai Pasukan Karellae.Karellae bermakna tiga warna karena pakaianpasukan ini memiliki tiga macam warna.Pasukan wanita dilengkapi dengan senjata khusus yang dinamakan rakkapeng.Kelakdi kemudian hari rakkapeng ini dijadikan sebagai alat untuk memotongbeberapa helai padi sebagai tanda memulai panen padi di bumi.
Keberangkatan Pasukan Karellae menuju bumi ternyata diam-diam diikuti oleh sekelompok pemuda Kahyangan yang selama ini jatuh cinta kepada We Oddang Nriwu.Mereka rupanya merasa sakit hati dengan keputusan Batara Guru. Mereka bersepakat untuk melampiaskan rasa sakit hati mereka dengan berupaya merusak tangkai padijelmaan raga We Oddang Nriwu di bumi.
Pasukan Karellaeberusaha melaksanakan tugasnya dengan baik. Mereka menanam tangkai padi itu di pusat bumi. Mereka juga dengan setiamelindungi tangkai padi itu dari segala gangguan para makhluk perusak di bumi.
Setelah 70 hari 70 malam, tangkai padi itu pun tumbuh subur di permukaan bumi. Jasad We Oddang Nriwu telah menjelma padi yang dapat diolah menjadi berbagai macam makanan lezat. Bagian dari jalinan rambutnya yang panjang menjadi pohon kelapa yang semua bagiannya dapat dimanfaatkan manusia. Daging buahnya dapat dimakan dan airnya dapat dijadikan minuman segar maupun sebagai obat.Pakaiannya punmenjadi bermacam sayuran.Mahkota bersusun tiga, cincin dan gelangnya menjadi beraneka jenis ikan dan belut yang dapat hidup di air tawar.
Sementara itu sekelompok pemuda Kahyangan yang berniat mengganggu tanaman padi dikutuk oleh Batara Guru menjadi bermacam binatangyaitu walangsangit (anango), bubuk (bebbu), tikus dan babi hutan. Mereka senantiasa berupaya mengganggu dan merusak tanaman padi. Namun mereka selalu dapat dihalau oleh Pasukan Karellae yang selalu setia menjaga padi.
Senjata rakkapeng milik pasukan wanita Karellae diwariskan kepada para perempuan petani di bumi. Sebelum padi dipanen atau mingngala, petani melakukan ritual yang disebut mappammula. Di sinilah peran perempuan yang biasanya ditunjuk khusus melaksanakan ritual khusus tersebut dengan mengambil beberapa helai padi dengan menggunakan rakkapeng.Padi yang telah diambil tersebut diletakkan di sisi tengah rumah atau biasa disebut alliri tengngae.
Setelah panen padi dan padi terkumpul di rumah lalu sebagian sudah diolah menjadi beras, ritual berupa syukuran atas berkah dari YangMaha Kuasa pun dilakukan. Ritual itudisebut salama’ manre ase baru dengan mengundang keluarga dan tetangga.Ritual lainnya yang biasa dilakukan petani adalah massellu’ tanah. Ritual ini biasanya dilakukan sekali dalam setahun. Tujuannya untuk menambah kesyukuran atas berkah melimpah dari Yang Maha Kuasa, penghargaan pada tanah dan para pasukan penjaga padi.
Agar senantiasa dapatmenjaga padi setiap saat, Pasukan Karellae merubah bentuk mereka menjadi kucing dengan bulu tiga warna. Kucing-kucing ini kemudian dikenal sebagai Meong Mpalo Karellae, kucing pelindung padi dari tikus.
Kehadiran kucing-kucing itu membuat takut tikus dan hama lainnya yang akan mendekati padi. Berdasarkan salah satu pesan Batara Guru, dengan maksud untuk menjaga keseimbangan alam, kucing-kucing itu sengaja tidak pernah membunuh tikus. Meong Mpalo Karellae memang hanya ditugaskan untuk menjaga padi. Berdasarkan hal itu, tikus dipercaya oleh petani sebagai bagian dari harmonisasi kehidupan, oleh sebab itu keberadaannya pun harus dihargai. Tikus adalah salah satu jelmaan dari makhluk Kahyangan yang dikutuk menjadi makhluk penghuni Dunia Bawah.
Petani seringkali mengucapkan,”anreni saisa’ assaleng aja’ muanre manengngi” yang artinya: silahkan makan seperlunya asalkan jangan dihabiskan semua. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah padi yang subur itu tidak semuanya milik manusia, sebab ada pula yang menjadi milik makhluk lainnya. Itulah sebabnya petani jaman dahulu tidak pernah membunuh tikus. Berbeda dengan perilaku petani sekarang yang membunuhi tikus secara massal. Petani dahulu percaya bahwa perilaku jahat pada tikus justru akan menimbulkan bala atau tikus akan semakin buas memakan padi.
Sementara itu Meong Mpalo Karellae saat ini sudah sangat sulit ditemui, yang ada biasanya hanya kucing biasa satu warna atau dua warna. Para petani jaman dahulu berpendapat bahwa apabila di suatu kampung masih ada kucing terutama jenis Meong Mpalo Karellae yang melintas di tengah jalan, itu artinya sumber-sumber penghidupan masih sangat baik. Itulah sebabnya pada saat petani melakukan ritual syukuran pasca panen, kucing yang hidup di rumah mereka juga diberi makanan khusus yang lezat dan layak. Kini kucing sudah jarang sekali dipelihara di rumah-rumah penduduk. Mereka dimusuhi sebab dianggap dapat mencuri makanan serta bisa mengotori rumah. Padahal, kucing adalah makhluk ajaib yang merupakan sahabat manusia sejak dahulu kala. (TAMAT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H