Mohon tunggu...
Ivan Ibrahim
Ivan Ibrahim Mohon Tunggu... -

Student of Geological Engineering, Trisakti University

Selanjutnya

Tutup

Nature

Efisiensi Ibukota

21 Agustus 2013   13:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

D.K.I Jakarta, sebuah kota yang menjadi pusat dari perdagangan di Indonesia, dimulai dari ketika masih bernama Batavia dengan pelabuhan Sunda Kelapanya maupun hingga kini. Provinsi yang memiliki koordinat 60 12’ S 1060 48’ E/ 62000 S 106,8000 E dengan luas area seluas 740,28 KM2 (tanah : 662,33 KM2 ; perairan : 6.977, 5 KM2) dengan type of government berupa special administration area. Populasi di ibukota Jakarta berdasarkan sensus penduduk bulan Nopember 2011, sebesar 10.187. 595 jiwa dan tentunya akan terus bertambah jika tidak ditangglangi. Jika kita bagi antara jumlah penduduk Jakarta per Nopember 2011 dengan luas area, maka didapat hasil 15381, 449/KM2 , atau 1 : 15381, 449. Secara sederhana dapat diartikan setiap 1 KM2 , ada sekita 15000 jiwa yang menghuni.

Dengan adanya angka perbandingan di atas antara jumlah penduduk di ibukota dengan jumlah lahan (daratan) yang tersedia, berbagai masalah pun muncul. Bukan hanya menyoal permasalahan persaingan di ibukota semakin sengit, atau stabilitas serta keamanan dan kenyamanan, ada satu permasalahan yang tidak bisa kita lupakan, ruang. Permasalahan ruang bukan hanya mencakup ruang tinggal, tapi ruang hijau di ibukota, ruang untuk pendidikan, ruang untuk investasi dan pergerakan roda ekonomi, ruang rekreasi dsb. Jika kita melihat ke kanan dan ke kiri, yang tampak bangunan, terdiri dari bangunan perkantoran dan apartemen, mall. Kita jarang melihat ruang terbuka hijau. Sekarang memang sedang digalakan akan hal itu dan baru saja kita dapat lihat di media baik elektronik maupun media cetak, waduk pluit sudah sekitar 30 % dijadikan kawasan hijau. Lalu, bagaimana kawasan lain? Belum lagi perumahan. Dalam hal ini, Jakarta yang terlanjur menjadi kota metropolitan tidak bisa lepas dari bangunan tinggi berupa perkantoran karena Jakarta pusat perdagangan di Indonesia. Lalu, dimana ada ruang lain bagi masyarakat Jakarta yang sudah berhimpitan? Dimana kita akan berekreasi, belajar?

Beberapa kawasan, selain kawasan waduk Pluit yang beru dibebaskan dan dijadikan kawasan hijau, masih banyak kawasan padat penduduk (bahkan rawan banjir atau daerah tak layak huni) yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk hal lain. Bayangkan misalkan 1 komplek perumahan dengan rata-rata luas bangunan rumah seluas 100 M2 di ibukota. Jika ada 200 rumah saja di kompleks tsb. Maka luas yang terpakai adalah 20.000 M2 . Belum ditambah jalan dan berbagai pernak pernik di komplek tsb. Bayangkan apa yang dapat kita lakukan untuk Jakarta jika setidaknya setengahnya saja dari luas tsb. Bisa dimanfaatkan untuk ruang hijau terbuka, area pendidikan, ruang olahraga dll.

Kita akan berbicara soal efisiensi. Dengan estimasi kalkulasi di atas untuk satu perumahan yang memiliki luas 20.000 M2 yang menggerogoti wilayah tanah di Jakarta, akan lebih efisien jika 200 rumah tadi ditaruh bukan melebar (meluas menggeregoti wilayah hingga seluas 20.000 M2 ), melainkan ditaruh menumpuk ke atas. Apartemen dan rumah susun adalah salah satu solusi dari pemanfaatan lahan bagi tempat tinggal. Dari segi efisiensi, sebuah apartemen tidak akan memakan wilayah seluas kompleks perumahan. Estimasikan 1 apartemen kecil memiliki luas tanah 400-600 M2 dan untuk apartemen kecil memiliki 5-8 lantai. Mungkin apartemen besar akan sedikit lebih memakan space disbanding apartemen kecil dan memilki daya tamping lebih karena jumlah lantai pasti lebih banyak, namun jika ada 1 buah apartemen kecil atau rusun dengan minimal 5 lantai di tanah seluas 20.000 M2 tadi, dengan estimasi 1 lot apartemen luasnya sama (100 M2 ), maka di tanah seluas 20.000 M2 akan berdiri 40 apartemen atau rusun. Jika kita asumsi 1 rumah di kompleks perumahan tadi berisi 4 orang, maka 1 kompleks akan berisi 800 orang. 800 orang di tanah seluas 20.000 M2 ? sangat tidak efisien dibandingkan dengan jumlah yang bisa ditampung oleh apartemen atau rusun di atas tanah yang sama besar. Jika satu lantai dari rusun atau apartemen kecil mampu menampung 4 lots dengan 1 lots berisi 4 orang, maka jika dikali dalam 1 lantai berisi 16 orang. Jika satu gedung memiliki 5 lantai, maka 1 gedung berisi 80 orang. 1/10 dari penghuni kompleks seluas 20.000 M2 . Lalu, bagaimana jika ada 40 apartemen atau rusun di atas tanah seluas 20.000 M2 ? Akan ada 3200 orang yang mampu ditampung dalam 20.000 M2. Berapa banyak kompleks perumahan agar mampu mencapai angka 3200 jiwa yang dapat ditampung? 4 buah kompleks perumahan. Lalu, Berapa luas Jakarta yang dipakai “hanya” untuk menampung 3200 jiwa? 80.000 M2. Bayangkan, jika 20.000 M2 sudah terpakai untuk menampung 3200 jiwa, lalu 60.000 M2 dapat kita manfaatkan seluas-luasnya untuk ruang terbuka hijau, ruang untuk pendidikan, ruang bermain, ruang untuk roda ekonomi dll. Terutama ruang terbuka hijau, kebutuhan Jakarta yang mendesak agar dapat membuat Jakarta menjadi lebih asri.

Dengan jumlah penduduk Jakarta mencapai lebih dari 10 juta jiwa (dan terus bertambah), berarti jika memakai konsep penduduk Jakarta tinggal di apartemen atau rusun dengan estimasi daratan seluas 20.000 M2 dapat dihuni 3200 jiwa, maka untuk 10 juta jiwa dibutuhkan daratan seluas 62, 5 juta M2 . Berarti masih bersisa 599, 8 juta M2 untuk dimanfaatkan untuk ruangan yang lain (dalam hal ini diprioritaskan ruang hijau). Sedangkan untuk teori masyarakat Jakarta tinggal di kompleks perumahan seluas 20.000 M2 dengan populasi yang dapat ditampung sebesar 800 jiwa, maka untuk populasi 10 juta jiwa diperlukan daratan seluas 250 juta M2 atau 4 kali lipat lebih luas area daratan di ibukota yang dibutuhkan dan lebih sedikit area yang dapat dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif serta sustainable. Namun perlu diingat, kita sebaiknya membangun rusun atau apartemen yang tidak terlalu tinggi, apartemen-apartemen atau rusun-rusun kecil sudah mampu mengakomodir. Hal ini perlu diperhitungkan mengingat Indonesia berada di Ring of Fire sehingga rawan gempa, dan semakin tinggi gedung, semakin membutuhkan air tanah lebih banyak.

Tidak serta merta hidup di apartemen atau rusun menjadi opsi satu-satunya, atau menjadi keharusan. Ini merupakan hanya salah satu opsi membuat Jakarta manjadi lebih tertata rapih, maju, asri serta nyaman dan aman. Bukan solusi satu-satunya, tapi alternative yang layak kita pikirkan. Jakarta sudah terlanjur menjadi ibukota Negara yang sekaligus menjadi pusat bisnis di Indonesia. Kita tidak boleh bergerak lambat. Kita jangan berjalan selagi yang lain berlari. Kita harus one step ahead. Kita jangan terpaku pada pola pikir “Negara dunia ketiga”, kita harus berubah, harus berhijrah. Pola perilaku kita kita yang hijrah agar kita mampu menjadi Negara yang lebih baik di masa yang akan dating. Kita harus mau meniru hal-hal baik dari Negara industry tanpa melupakan akar budaya Negara kita. Jakarta harus mampu se-mobile New York, Hongkong, Taipei, Shanghai, Singapura, dll. Kota-kota tsb. Bergerak cepat.

Mengapa hidup di apartemen atau rusun menjadi salah satu opsi menata Jakarta? Bukan hanya dari segi efisiensi lahan saja yang menjadi efek opsi ini, opsi ini akan berimbas pada produktivitas masyarakat Jakarta. Banyak masyarakat bahkan yang tinggal di kompleks perumahan di Jakarta, apalagi yang di daerah pinggiran Jakarta atau di luar Jakarta, harus menempuh waktu yang cukup lama ke tempat mereka bekerja atau bersekolah. Namun, dalam persoalan efisiensi waktu masyarakat, transportasi umum akan sangat berpengaruh, bahkan bisa dibilang krusial. Sebagai analogi, sebuah lingkungan kampus yang di dalamnya memiliki dormitory untuk para mahasiswanya, dengan adanya dormitory “memaksa” para mahasiswa untuk masuk tepat waktu, setidaknya dekat dan dapat memanfaatkan waktu mereka untuk belajar. Seperti “mengurung” masyarakat agar lebih produktif. Begitu juga di ibukota Jakarta. Dengan tinggal di apartemen atau rusun yang tersedia di ibukota, akan banyak daerah di Jakarta yang dekat dengan kantor atau sekolahnya. Jarak tempuh yang pendek akan memakan waktu yang pendek, dengan begitu akan lebih banyak waktu bersantai, istirahat, energy dan emosi tidak habis di jalan. Hal ini perlu dukungan transportasi yang bervariasi, nyaman, aman dan kuantitasnya banyak serta dapat menjangkau berbagai area.

Dengan efisiensi jarak dan waktu, sehingga akan membuat masyarakat beralih ke transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi. Dengan begitu akan mengurangi kemacetan ibukota. Selain itu akan ada efisiensi penggunaan energy dan sumber daya alam, dalam hal ini minyak bumi. Dengan berkurangnya kendaraan akibat dekatnya jarak tempat tinggal (apartemen atau rusun) dengan sekolah atau kantor, sehingga dipakailah kendaraan umum oleh masyarakat, kendaraan pribadi dipakai hanya jika dibutuhkan, akan terjadi penurunan penggunaan minyak bumi, sehingga Indonesia secara keseluruhan mampu berhemat bahan bakar minyak, dikarenakan cadangan minyak Indonesia akan habis dalam 12 tahun kecuali ada kegiatan eksplorasi.

Terlepas dari semua itu, ada sisi negative dari konsep ini. Ditinjau aspek social, seperti kita lihat, masyarakat kota metropolitan cenderung egois. Jika kita melihat misalkan kota macam New York yang masyarakatnya tinggal di small apartment atau apartemen besar, cenderung hidup dalam boxnya sendiri. Bandingkan dengan masyarakat pedesaan yang masih gotong royong, masih peduli satu sama lain. Hidup masyarakat seperti yang dijelaskan di atas, akan terkotak-kotak dan menjadi “robot”.

Namun, dengan banyaknya ruang yang tersedia, dapat dimanfaatkan sebagai truang hijau yang dapat digunakan sebagai tempat berekreasi, tempat bertemu tetangga, bertemu teman. Bayangkan begitu banyak New York Central Park di Jakarta. Asri bukan? Akan membuat Jakarta lebih sejuk, nyaman. Pikirkan juga bagaimana jika banyaknya ruang hijau yang meneduhkan Jakarta dapat membuka banyak lapangan pekerjaan?

Kita sebagai masyarakat Jakarta, perlu moving forward. Kita perlu berubah, bukan hanya pemimpinnya yang menggalakkan perubahan. Gubernur D.K.I Jakarta dan Wakilnya, Jokowi dan Ahok sudah memulai ini dengan memindahkan warga di beberapa daerah ke rusun. Mari kita bangun Jakarta menjadi lebih bersih, sejuk, asri, aman, nyaman, sejuk, dan sustainable. Semua berawal dari kita. Sekali lagi, ini bukan opsi satu-satunya, dan apa yang dipaparkan berdasarkan estimasi dan logika sederhana, perlu dikembangkan lebih jauh agar bisa menjadi alternative dalam membangun Jakarta yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun