Aku terdiam. Aku tidak pernah habis pikir. Berita yang aku baca di koran pagi ini membuat selera makanku menjadi hilang. Bagaimana tidak? Setya Novanto (Setnov), papaku yang aku sangat cintai telah ditetapkan oleh KPK sebagai terdakwa dalam kasus korupsi E-KTP.Â
Papaku yang menjadi orang no 1 di DPR itu dinyatakan menjadi kunci sukses keberhasilan  salah satu proyek Korupsi terbesar itu. Hatiku gelisah. Pikiranku tidak karuan. Aku tidak lagi berselera menikmati sepotong roti yang biasa aku makan bersama papa.
Aku ingin menangis. Aku ingin berteriak, tapi aku seolah tidak punya kekuatan untuk melakukannya. Tapi entah mengapa, tanpa kuperintahkan, tanganku merobek wajah papa yang terpampang besar di koran pagi itu.
Lalu, aku membawa robekan wajah papa itu, sembari berjalan menuju ruang khusus yang biasa digunakan papa untuk membaca. Di sana, aku duduk tepat di sebuah kursi yang sering diduduki oleh papa. Aku ingat sekali. Di kursi itulah papa sering membaca koran setiap pagi, dan setelah itu ia menemuiku. Ia berkata padaku, "kalau kamu jadi pemimpin kelak, jadilah pemimpin yang jujur, jangan seperti pemimpin sekarang ini, mereka suka sekali berdusta". Aku ingat perkataan papa yang ini.
Semua nasihat papa aku ingat. Dari nasihatnya itulah, aku percaya kalau papa adalah orang yang jujur dan tidak mungkin menjadi pendusta. Aku juga meyakini kalau papa menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab. Tapi, kok hatiku terus bertanya ya. Kenapa berita pagi ini seolah menyudutkan papaku dan tampaknya media ingin mengatakan bahwa papa itu pendusta?
Ahhh... sudahlah, aku buang pikiran itu jauh-jauh. Sembari membawa robekan wajah papa, aku menyempatkan diri untuk berdoa. Dalam doaku, aku berseru: "Tuhan, semoga papa tidak benar-benar mendusta. Tuhan, semoga bukan papa yang melakukannya. Tuhan, semoga papa tidak dipenjara. Tuhan, bebaskanlah papa dari masalah yang berat ini. Â Tuhan, aku tidak mau papa dipenjara. Tuhan, aku masih ingin bercerita dan bercanda dengan papa".
Selesai berdoa. Hatiku masih tidak bisa tenang. Hati kecilku masih menyimpan kegelisahan dan ribuan ketakutan. "Bagaimana kalau papa memang benar-benar berdusta? Bagaimana kalau papa benar-benar dipenjara? Apa yang harus aku katakan kepada teman-teman sekolahku nanti?"
 Entahlah, setiap hari aku berdoa untuk papa. Aku memohon kepada Tuhan agar semua yang dituduhkan pada papa tidaklah benar. Aku sangat yakin kalau yang terjadi sama papa saat ini adalah hasil kongsi dari lawan-lawan politik papa. Aku percaya papa. Papa bukanlah seorang pendusta.
Tapi, bagaimana kalau papa benar-benar dipenjara?
Kalau papa benar-benar dipenjara, tentu aku tidak tahu harus mau ngapain. Yang aku ingat papa selalu bilang, "papa bekerja untuk membahagiakan keluarga". Papa bekerja siang dan malam hanya untuk kepentingan keluarga. Mengingat perkataan papa itu, ketakutanku berubah menjadi sebuah kepercayaan dan kebanggaan, "kalaupun papa nanti dipenjara, aku nggak boleh nangis. Aku juga nggak boleh minder dengan teman-temanku.
Malahan, aku harus bangga dan bercerita kepada mereka bahwa, semua yang papaku lakukan adalah untuk keluarganya. Ia rela dipenjara "hanya" untuk membahagiakan keluarganya.Â