Saat ini, tragedi yang sedang menarik perhatian publik, termasuk Presiden RI, Jokowi, adalah tragedi pembunuhan petugas pajak yang dilakukan oleh pengepul karet di pelosok negeri di Pulau Nias, Sumatera Utara. Agusman Lahagu yang adalah pengepul karet menjadi pelaku utama atas pembunuhan kedua petugas pajak yang menagih hutangnya yang terbilang cukup besar yaitu, Rp 14,7 Miliar. Tagihan pajak ini cukup fantastis untuk seorang pengusaha yang termasuk dalam kategori sedang, karena kalau dilihat dari usahanya, kita jadi bertanya, “Loh, kok tagihannya bisa sampai sebesar itu?”
Pertanyaan di atas mungkin bisa dijawab oleh pihak yang berkepentingan. Namun, yang menjadi fokus ialah, konsekuensi dari peristiwa ini adalah sorotan mata yang tajam, sinis dan membelalak ditujukan untuk menatap Pulau Nias. Sekarang, muncul anggapan bahwa “Nias yang dibilang aman ternyata rawan” (Baca Pembunuh Petugas Pajak Tunggak Rp 14 Miliar, Jakarta: Tempo, kol. 6, yang dilansir pada 14 April 2016).
Di satu sisi, maka peristiwa ini memang merupakan tragedi yang memilukan dan menyedihkan. Bagaimana Tidak? Nias adalah pulau yang didomisili oleh orang-orang yang beragama dan didominasi oleh orang-orang Kristen. Ada banyak gereja-gereja yang duduk di atas bumi Nias. Maka, dengan terjadinya peristiwa seperti ini maka eksistensi gereja sebagai yang dominan akan semakin dipertanyakan. Mengapa orang-orangnya tidak menjadi lebih baik dan semakin amoral di tengah-tengah kekristenan yang ada? Sepertinya sudah terjadi degradasi moral juga degradasi iman dari pulau yang sering dijuluki sebagai Pulau si “kantong Kristen” itu.
Kalau ditanggapi secara serius, maka tragedi yang terjadi ini seharusnya membuat gereja bercermin dan mengoreksi diri apakah gereja sudah melakukan tugasnya dengan baik sebagai gereja Tuhan, yang menghadirkan syalom di tengah-tengah bumi Indonesia ini. Selayaknya, nalar kita juga pasti akan mengkritisi dan memberi pembelaan bahwa tidak ada sangkut pautnya gereja dengan tragedi ini. Namun, andai saja secuil tragedi yang disorot oleh publik ini, dijadikan cerminan untuk melihat kegamaan mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Karena, kalau disorot ke sudut-sudut Nias, maka kasus pembunuhan seperti ini kerap kali terjadi dan "sudah menjadi hal biasa".
Artinya, saya sebagai orang Nias, sering sekali mendengar berita pembunuhan yang terjadi di Nias. Lalu apa yang dilakukan oleh gereja yang mendominasi di sana? Mungkinkah gereja di Nias saat ini sedang tertidur dan merasa aman-aman saja dan tidak perlu merasa risih dengan tragedi-tragedi yang terjadi. Ataukah gereja perlu disadarkan dan dibangunkan dari tidurnya yang cukup lama ini? Kalau demikian, besar harapan kita bahwa akan terjadi kebangkitan kerohanian serta gerakan ke arah yang lebih baik lagi di pulau saya tercinta, Pulau nias.
Namun, di sisi lain, tragedi yang menimpa petugas pajak di Nias, juga menjadi bahan koreksi kepada pemerintah, yang disuarakan melalui kekerasan. Hal ini bukan berarti bahwa kita membenarkan perbuatan pembunuhan tersebut, tetapi tragedi ini adalah tragedi yang menggaungkan gema-gema keadilan di negeri ini. Hanya saja, yang sangat disesalkan adalah, gema keadilan yang disuarakan tampaknya seolah menimbulkan ketidakadilan. Pembunuhan sebagai wujud protes terhadap penagih pajak menjatuhkan korban yang juga sedang menuntut keadilan. Akhirnya keadilan belum usai dituntaskan, lahir ketidakadilan yang lain. Hal ini akan menjadi siklus, jikalau tidak dituntaskan setuntas-tuntasnya.
Dalam kasus yang terjadi ini, kita salut terhadap respons Pak Jokowi yang langsung menaggapinya dengan memberi perintah kepada pihak berwajib untuk mengusut tuntas siapa pelaku pembunuhan petugas pajak tersebut. Itu sebuah keharusan yang harus dilakukan. Tetapi, sesungguhnya, tragedi ini adalah secuil tragedi, yang terpotong dari segumpal tragedi yang sengaja dirancang oleh oknum tertentu menjadi sebuah tragedi berdarah. Mengapa demikian?
Masih terngiang di benak kita, peristiwa pemadaman listrik selama seminggu di Nias yang menimbulkan kerugian besar di tengah-tengah masyarakat Nias. Bahkan hal ini menimbulkan aksi protes dan demo untuk mengusut tuntas penyebab ketidakadilan tersebut. Lalu, apakah perisitiwa itu sudah diusut tuntas? Siapa yang bertanggung jawab atas perisitiwa yang merugikan tersebut? Apakah akhirnya didiamkan saja dan dianggap sepele saja? Kita tidak tahu. Kita hanya masyrakat biasa yang tak berdaya, yang berpasrah pada para penegak hukum.
Kemudian perihal pajak yang menimbulkan tragedi pembunuhan petugasnya, menimbulkan pertanyaan, Apakah pajak yang dimintai itu sudah sesuai dengan pajak sebenarnya? Apakah hasil dari pajak-pajak tersebut tidak akan diselewengkan oleh pihak-pihak yang nakal dan ingin memenuhi nafsu hewaninya? Apakah pemerintah memberi hati yang sungguh-sungguh untuk mengusut tuntas para mafia-mafia pajak? Banyak mafia-mafia pajak di negeri ini dan sepertinya terus berkeliaran di negeri tercinta ini. Itu masalahnya. Usut tuntas bukan hanya kepada pelaku pembunuhan, tetapi juga kepada para "penyebab-penyebab" perlakuan tersebut. Akhirnya, kalau diusut-usut, baik pemerintah maupun agama turut serta mengambil andil dalam tragedi-tragedi yang terjadi dengan memilih sikap apatis melihat realitas yang terjadi.
Pada akhirnya, kita turut berduka, terhadap petugas pajak yang sebenarnya tidak tahu menahu soal hal tersebut. Tapi apa daya, darah-darah tak berdosa tertumpah menyuarakan ketidakadilan, menggaunggkan suara kebenaran. Masihkah kita membiarkan darah yang tak berdosa yang akan tertumpah lagi di negeri tercinta ini? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H