Mohon tunggu...
Ivan Firdaus
Ivan Firdaus Mohon Tunggu... lainnya -

tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak Bajo Pulau Rajuni

29 November 2010   13:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_75232" align="alignleft" width="301" caption="Gadis cilik pencari Tietie (Bulu Babi)"][/caption]

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya berada di pulau yang indah ini.Pulau Rajuni, salah satu pulau berpenghuni di antara gugusan pulau-pulau, taka dan gosong pasir kawasan Taka Bonerate.Pulau kecil dengan pantai pasir putih, lambaian nyiur, air laut bening kebiruan, serta senyum ramah penghuninya.Pulau yang konon diberi nama berdasarkan nama seorang penghuni awal bergelar “ Rajane ” yang hidup bersama kelompok suku laut (Tu Rije’ne) yang juga dikenal dengan sebutan suku Bajo/ Bajau atau Sama dengan pola hidup berpindah-pindah dari pantai ke pantai, dari pulau ke pulau, dengan bermukim di atas perahu.Mereka takut hidup menetap di atas tanah daratan karena memegang sumpah sebagai Tu Rije’ne.Keluarga suku Bajo menjadikan perahu sebagai rumah mereka.Mereka memasak, makan, memancing, mengolah hasil laut, tidur hingga melahirkan anak di atas perahu.Sang “Sandro” yang membantu kelahiran anak-anak dari ibu yang hendak melahirkan, akan mengunjungi perahu mereka dengan mengayuh sampan.Anak-anak Bajo yang lahir di atas perahu akan diasuh hingga besar di atas perahu pula.Daratan dan pantai yang disinggahi sesekali, hanya tempat bermain sementara bagi anak-anak Bajo.

Hingga pada sekitar awal abad ke 19, dimana kelompok orang-orang Bugis berdatangan ke pulau-pulau di kawasan Taka Bonerate untuk membeli hasil laut, maka mulailah mereka berinteraksi dan berasimilasi dalam kehidupan sosial dengan rantai pasar hasil laut sebagai kunci penghubung.Pada beberapa tahun berikutnya dimana beberapa keluarga suku Bugis dan Selayar mulai menetap di pulau Rajuni, tibalah seorang ulama kharismatik bernama Muhammad Said dari daerah Maros yang kemudian juga menetap di pulau yang menjadi pusat pemerintahan kala itu.Ulama ini dengan gigih menguatkan pegangan agama Islam di Pulau Rajuni dan sekitarnya, hingga ke pulau-pulau besar di daratan Pulau Selayar, Jampea, Kalaotoa, Bonerate serta Sinjai dan Bulukumba.Beliau kemudian dikenal dengan sebutan Imam Rajuni, yang wafat dan dimakamkan ditahun 1945 di pulau ini.

Imam Rajuni hidup bersama kelompok suku Bugis dan suku Bajo di pulau ini.Namun orang-orang Bajo tetaplah tinggal di atas perahu di pesisir pantai pulau dengan sesekali berpindah dari pulau ke pulau di sekitar kawasan ini.Imam Rajuni kemudian menikah dengan seorang perempuan suku Bajo bergelar Lolo Bajo (keturunan Raja suku Bajo) dan melahirkan keturunan di pulau ini.Sejak saat itu mulailah beberapa keluarga suku ini mau tinggal di atas pulau Rajuni.Mereka mulai membangun pondok-pondok kayu hingga berkembang menjadi kawasan pemukiman yang kini dikenal sebagai kampung/ dusun Bajo yang berdampingan dengan kampung/ dusun Bugis di pulau Rajuni, hingga pulau Latondu, Tarupa dan Pasitallu.Sejak itu pula mulai lahirlah anak-anak Bajo di atas rumah di daratan pulau pasir yang masih penuh dengan semak belukar, cemara pantai dan pohon kayu Santigi.

Anak-anak suku Bajo, bagai “saudara sedarah” dengan laut beserta isinya.Angin laut dan sengatan cahaya matahari pemicu daya tahan tubuh-tubuh mungil ini.Rambut kemerahan, mata yang awas dimalam hari serta jari-jemari khas anak-anak suku Bajo, menjadi ciri yang hampir sama pada setiap suku Bajo di sekitar Sulawesi dan Kalimantan.Mereka sehat dan kuat karena asupan gizi tumbuhan dan binatang laut.Teripang dan kerang-kerangan sangat lezat dalam keadaan segar tanpa dimasak terlebih dahulu kata mereka.Dari pagi hingga petang setiap hari, mandi dan bermain di laut adalah agenda utama anak-anak suku Bajo kawasan kepulauan Taka Bonerate ini.

Seiring berkembangan waktu dan “pembangunan”, Kabupaten Selayar bergiat berbenah diri.Program pembangunan fasilitas dan pengembangan masyarakat di introduksi di kawasan Taka Bonerate ini.Anak-anak Bajo kini sudah bisa bersekolah tingkat SD dan SLTP di Pulau Rajuni.Mereka sudah bisa bermain dan berkejar-kejaran di atas jalan-jalan setapak semen.Garis pantai berpasir kini dipasangi tanggul penahan gelombang dan aberasi, yang diharapkan kuat hingga meredam gelombang jika terjadi tsunami.Kabupaten Selayar adalah termasuk daerah rawan Tsunami menurut hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Nasional.Terbukti disaat gempa di pulau Babi di laut Flores, gelombang tsunami merambat hingga ke pulau Tarupa dan pulau Latondu di kawasan Taka Bonerate ini.

Keluarga Bajo kinipun sudah mengenal Pustu, bidan, suster dan program Keluarga Berencana (KB), meski program KB tak pernah berindikasi berhasil.Peran dukun/ Sandro kian surut diganti diagnosa dokter, prediksi bidan dan suster, serta obat-obatan modern.Anak-anak Bajo sudah sering terjangkit Muntaber, Demam Berdarah, Malaria dan infeksi saluran pernafasan (ISPA).Alasan utama wabah ini adalah sanitasi lingkungan rendah akibat perilaku hidup keluarga dan minimnya fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK).Program WC umum dan perilaku hidup sehat mulai digalakkan, namun keluarga Bajo beserta anak-anak mereka masih senang buang air di pinggir pantai, memandang luasnya laut sambil mengusir kepiting yang berusaha mendekatinya.

Jangan ditanya soal nama-nama biota laut.Anak-anak Bajo pastilah hafal nama-nama binatang dan tumbuhan laut yang biasa mereka temukan di pantai dan biota hasil tangkapan ayahnya.Tentunya dalam bahasa Bajo atau Bugis.Dengan masuknya beberapa program konservasi dan pengelolaan ekosistem laut yang intensif seperti COREMAP dan beberapa program lainnya, anak-anak Bajo mulai menambah kosa kata baru mengenai nama-nama biota laut.Tietie atau Tetehe’ (Bajo) yang sering anak-anak ini pungut untuk di ambil telur (gonad)-nya, kini mereka sudah menyebut dengan nama Bulu Babi, hasil ajaran IPA berbasis Mulok dan sebutan fasilitator Coremap.Beberapa biota dilindungi dan dilarang untuk ditangkap telah mereka kenali dari poster-poster penyadaran lingkungan yang ditempel di sekolah dan kantor desa.Meski anak-anak dan ibunya pasti sedih karena dilarang untuk mengambil Kima yang mereka sebut Keres (Bajo), padahal biota laut ini menjadi andalan ibu-ibu keluarga Bajo yang hamil dan menyusui karena terbukti mampu menambah ASI serta stamina ibu-ibu tersebut.

Anak-anak suku Bajo, seperti anak-anak dimanapun di dunia, adalah selembar kertas putih.Anak-anak yang bersih tanpa noda dan guratan tendensi, polos dan apa adanya, rentang waktu pendek yang menyerap berjuta pondasi kehidupan dan kekuatan untuk hidup.Bertahan atau hanyut oleh derasnya tarikan dan desakan dari dunia luar di sekeliling mereka.Kitalah yang membentuk koridor-koridor untuk mereka jalani dan beradaptasi.Bagaimana kita, dengan berbagai macam cara, konsep pembangunan, berbagai model program, idealisme, serta cara berfikir dan bertindak, menjadi contoh dan jejak-jejak kehidupan yang akan anak-anak itu lalui ?

(Tulisan dan Foto Ivan Firdaus,  ivanfirdaus@hotmail.com) [caption id="attachment_75234" align="alignleft" width="221" caption="Menyambut hasil tangkapan ayah usai menjaring ikan"]

12910352591348978843
12910352591348978843
[/caption] [caption id="attachment_75237" align="alignleft" width="206" caption="Belajar melaut sejak usia dini"]
12910356601610564515
12910356601610564515
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun