Ibarat sebuah rumah, infrastruktur bukan hanya menjadi pelengkap sebagaimana sendok untuk makan, tetapi lebih dari itu, menunjang hajat hidup orang banyak seperti membangun dapur dan membuat meja makan yang sudah tersedia segala macam peralatan makan. Lalu, siapa yang telah mendapat manfaat dari infrastuktur yang telah dibangun oleh pemerintah?
Faktanya, di tingkat daerah, alokasi anggaran untuk infrastruktur terus meningkat, namun temuan studi KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) memperlihatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas infrastruktur. Dari 1400 triliun rupiah yang ditargetkan dalam MDG (Sekarang SDG) bahwa selama 5 tahun pemerintahan Jokowi hanya 400 triliun rupiah yang dapat dipakai.
Secara teknis, lemahnya faktor infrastruktur juga dikonfirmasi oleh hasil survei International Institute for Management Development (IMD). Hasil survei pada tahun 2011 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 37 dari 59 negara dengan titik lemah tingkat daya saing Indonesia terletak pada aspek infrastruktur yang meliputi infrastruktur dasar, infrastruktur teknis, infrastruktur sains, kesehatan dan lingkungan hidup, serta pendidikan.
Pelayanan publik dalam pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial tidak akan serta merta membawa bahagia jika infrastruktur tidak didukung secara mumpuni, dalam hal ini, pembangunan infrastruktur harus ditopang pula dengan moda lainnya, seperti transportasi yang layak, rute jalan yang aman dan saling terhubung, serta inisiasi Pemda dalam mendukung skema kemitraan dengan swasta yang lebih bertanggung jawab (bukan mengalihkan tanggung jawab terhadap swasta) sehingga tidak selalu tergantung dengan pemerintah pusat.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, dalam kurun waktu 2007 dan 2010 anggaran belanja Pemda di kabupaten/kota Indonesia untuk pembangunan infrastruktur berkisar antara 11% - 13% (Kemenkeu 2007 dan 2010).
Namun, di kurun waktu tersebut data BPS menunjukkan bahwa kualitas jalan rusak dan parah justru semakin tinggi. Pada tahun 2007, panjang jalan kabupaten/kota dengan kualitas rusak-parah mencapai 24,9% dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 44.4% (BPS, 2011). Menurut pandangan KPPOD disinyalir bahwasanya maju atau mundurnya pembangunan infrastruktur berasosiasi dengan sepak terjang partai politik di DPR.
Bayangkan, pada proyek pengadaan barang dan jasa, porsi anggaran terbesar justru untuk perjalanan dinas dan bukan untuk barang dan jasanya, ini juga pada akhirnya berdampak pada berkurangnya kualitas hasil proyek. Cara untuk ‘memaksakannya’ adalah dengan membuat rapat persetujuan anggaran melalui voting (Buletin KPPOD, edisi September-Oktober 2012).
Dengan jumlah dan luas Indonesia yang begitu luas, terlebih di era otonomi daerah seharusnya memberikan lebih banyak kesempatan kepada pihak pemda untuk berinisiasi dan lebih otonom dalam membangun daerahnya. Saya menilai jika memang konsep infrastruktur terlalu luas, menjadikan daerah seperti kabupaten/kota dalam konsep “smart city” (kota cerdas) saya nilai sangat menarik untuk dilirik.
Jika Singapura saja mampu mengolah negerinya yang sangat kecil menjadi hingar bingar hingga ke mancanegara, saya yakin, banyak daerah yang memiliki potensi yang sama seperti Singapura. Yang menjadi masalah dalam pembangunan infrastruktur sebenarnya lebih kepada pembuat kebijakan dan stakeholder yang saling terkait di dalamnya.
Tentu saja, ide segar seperti smart city menjadi menarik diperbincangkan mengingat perubahan zaman yang terus membaru di setiap detik kehidupan. Tidak cukup Jakarta (sudah menjadi megacity), di setiap provinsi minimal ada sebuah smart city sebagai penunjang kehidupan pelbagai sektor dan antar daerah yang saling mendukun.