Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Guru, UN, dan Malpraktik Pendidikan

2 Desember 2009   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:06 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita melihat putra-putri Indonesia sering kali menjadi juara di berbagai olimpiade atau ajang kompetisi akademis yang dibina Prof. Yohanes Surya beberapa waktu lalu. Setidaknya, itu berhasil membuang penat dan gundah dunia pendidikan yang sedang berduka. Ternyata anak-anak Indonesia itu cerdas dan pintar karena berhasil mengalahkan siswa-siswa yang berasal dari negara-negara kuat di dunia.

Namun dalam konteks makro, prestasi "sesaat" itu jauh dari pembuktikan peran pemerintah dalam "membereskan" masalah pendidikan nasional. Pemutarbalikkan fakta dan logika yang menyesatkan tersebut karena kita hanya sekadar melihat permasalahan hanya didasarkan pada konteks teori, belum praksis (praktek dan refleksi) yang masih berkutat di sekitar permukaan saja.

Ketimpangan dalam dunia pendidikan nasional merupakan kisah sebuah bangsa yang lebih banyak sedihnya daripada senangnya. Di satu sisi, anak-anak Indonesia menjadi pahlawan di arena kompetisi internasional, namun di lain sisi, kita miris ketika di lapangan kenyataan masih banyak siswa yang terpaksa putus sekolah, tingkat kelulusan yang rendah, dan masih terdapat diskriminasi terhadap mereka yang tak berpunya.

Salah satu masalah dalam pendidikan nasional adalah menjadikan UN sebagai alat evaluasi yang sebenarnya menjerumuskan pendidikan ke liang kuburan. Dengan kebijakan tersebut berakhir dengan guru sebagai korban "malpraktik" pemerintah dengan "suntikan" UN. Tak sedikit guru mendapat cemoohan dari orang tua murid dengan cacian di sana-sini yang memposisikan guru seolah-olah sebagai pihak yang paling bersalah.

Permasalahan guru tersebut sampai sekarang belum ada solusinya, malahan pemerintah menyemburnya lagi dengan kebijakan Ujian Nasional (UN) Padahal kita sudah memiliki UU Sisdiknas yang menjadikan guru sebagai penentu kelulusan (Pasal 58 ayat (1) UU Sisdiknas). Kebijakan ini sama saja mengambil alih dan mengintervensi peran guru yang mencerminkan "borok" ketidakbecusan pemerintah dalam mengurus masalah pendidikan.

Singkatnya, guru mengalami "teror" dan "intimidasi" terselebung, kebijakan itu sebenarnya telah mematikan kematangan dan pendewasaan sebagai guru yang berproses. Akibatnya, banyak guru yang berspekulasi, karena takut nasib dan citra sekolahnya buruk di mata masyarakat, mau tidak mau, spekulasi nilai dengan memberi contekan dilakukan.

Secara tegas, kita dapat mengatakan bahwa ini adalah pertanda matinya dunia pendidikan. Ironisnya pemerintah sendiri yang menjadi algojonya. Inilah yang menurut Paul Ricouer (1986) dalam konteks ini yang menjadikan UN sebagai penyembunyian realitas dari kenyataan yang sebenarnya.

Dari paparan di atas, ada beberapa alasan mengapa UN harus ditolak, diantaranya:

Pertama, selama ini UN hanya berhasil mengukur kehebatan kognitif, dan melupakan ranah afektif dan psikomotor yang tidak kecil untuk menjadi indikator kelulusan. Sudah saatnya pemerintah memberi keleluasaan bagi guru untuk bertanggung jawab secara penuh dalam proses kelulusan atau tidak lulusnya. Jelas ini sangat bertentangan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat (1) yang menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik, bahkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan pula bahwa guru ikut berperan dalam menentukan kelulusan.

Kedua, tidak semua daerah memiliki infrastruktur pendidikan yang mumpuni. Papua yang sedang dilanda konflik berkepanjangan dan Aceh yang masih diselimuti duka akibat Tsunami, akankah UN tetap akan diberlakukan? Kalau ukuran itu dispekulasi lagi, maka kita harus mengikuti bahwa pemerintah memang tidak becus mengurus pendidikan untuk rakyatnya. Seandainya nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa di Papua adalah 4, sementara siswa di Jakarta adalah 6, apakah kita dapat katakan pendidikan di Papua gagal? Saya kira tidak, karena infrastruktur Lab. Bahasa Inggris di Papua sangat minim dan tidak dapat digeneralkan dengan Jakarta. Sementara itu, berdasarkan laporan PPL jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNJ tahun 2005 lalu, seorang siswa SMA di Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak dengan pendapatan orang tua 10.000/hari harus berjalan sekitar 6 km untuk mencapai sekolah. Kalau naik ojek, bolak-balik saja sudah terkena tarif Rp. 20.000. Itu juga sebelum BBM naik. Tepatnya di desa Pasindangan, hanya beberapa dari ratusan lulusan SMP/MTs yang meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bagaimana kalau ia tidak lulus, maka akan keluar lebih banyak uang lagi, sehingga angka putus sekolah di daerah tertinggal akan semakin besar. Belum lagi, masih dalam data dari laporan PPL PLS 2005, buku-buku pedoman untuk belajar di sekolah masih minim. Dari pengamatan penulis, di daerah Lebak, masih banyak siswa yang tidak dapat mengakses seluruh bab mata pelajaran, karena ketidaktersediaan buku pelajaran. Jelas, sangat riskan apabila standarisasi nilai UN diseragamkan.

Ketiga, dana ratusan milyar yang diambil dari alokasi anggaran pendapatan belanja negara untuk penyelenggaraan UN, padahal dana sebanyak itu, kalau pemerintah mau bijak dapat dimanfaatkan untuk kursus perbaikan kualitas guru atau dialokasikan untuk menambah pendapatan guru, penyediaan perpustakaan (kalau perlu berbasis internet), dan fasilitas lainnya.

Keempat, sudah saatnya pemerintah lebih menitikberatkan pada persoalan yang lebih krusial dan perhatian lebih dalam terhadap masalah pengangguran. Jumlah penganggur sampai tahun 2004 sudah mencapai 45 juta. Tidak sedikit kaum terdidik juga ikut-ikutan menjadi penganggur. Ini bukan hanya menyentil tapi juga tamparan keras untuk pemerintah. Apa yang sebenarnya siswa dapatkan di sekolah? Mereka tidak mendapat apa-apa, karena sekolah sekarang ini sudah berubah seperti bimbingan belajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus dari UN dan guru pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti aturan main yang sudah ditentukan. Ini tak ubahnya sama seperti praktik tengkulak, maksudnya pemerintah ingin memetik hasil dengan jalan pintas tanpa peduli proses mendapatkan hasil (Kompas, 13 April 2006).

Guru sebagai Agen Perubahan

Ada benarnya St. Sularto dalam buku Proses Pelapukan: Tantangan Indonesia Merdeka (2006) yang menulis bahwa perjalanan praksis 60 tahun Indonesia merdeka-dalam catatan ini terbatas pada pendidikan dasar dan menengah-sebenarnya jalan di tempat.

Selama ini pendidikan nasional hanya mampu melahirkan siswa-siswa yang hanya pandai menjawab soal-soal semata, namun lebih dari itu siswa tidak peka dan tidak memiliki kemampuan menjawab lembar realitas di lapangan kenyataan. Padahal, setiap tahun, lahir 2,5 juta angkatan kerja baru, dengan pertumbuhan ekonomi 4 persen, berarti hanya 1,6 juta dari angkatan kerja tersebut yang dapat menjamah lapangan kerja. Bagaimana dengan sisanya kalau bukan menjadi penganggur terdidik.

Itu terjadi karena memang selama ini kita bersekolah yang dikejar hanya sekadar lulus dan itu diamini setiap tahunnya, tanpa reaksi keras atau perlawanan dari guru sendiri. UN selama ini memasung guru sebagai sosok yang terkesan hanya mengurusi pensiasatan soal-soal daripada proses dalam membangun pembelajaran yang bermakna dan memanusiakan. Timbullah mekanisasi sehingga siswa itu tak ubahnya seperti mesin-mesin yang hanya mampu menjawab soal-soal belaka.

Singkatnya, UN hanya mengukur hasil bukan proses. Yang terjadi kemudian, siswa di-drill sedemikian rupa agar mendapat nilai yang tinggi. Sementara itu, sekolah melupakan tanggung jawabnya untuk mengasosiasikan keilmuan siswa dengan kenyataan hidup yang semakin sulit. Dapatkah sekolah menjawabnya tanpa guru sebagai agennya?

Sedikit mengutip pandangan H.A.R. Tilaar dalam bukunya Manifesto Pendidikan Nasional (2005) yang menyatakan bahwa profesi guru dalam masyarakat tradisional di Indonesia mempunyai tingkat yang sangat dihormati sebagai pembimbing bangsa, memiliki kemampuan mistik, dan pembimbing moral bangsa. Paulo Freire, filosof pendidikan pun menegaskan bahwa guru sebenarnya pekerja budaya (Cultural workers) yang tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik.

Oleh karenanya, sebelum membahas dan bertanya mengenai prestasi siswa, kurikulum masa depan, dan fasilitas yang berteknologi tinggi, dan berbagai tuntutan lainnya, alangkah bijaknya bila kita mau memperhatikan kondisi guru terlebih dahulu. Karena kurikulum sehebat apapun akan sia-sia apabila guru belum berdaya dan sejahtera. Bagaimana kualitas guru? Sudahkah guru berdaya dan sejahtera sehingga dapat membentuk katakter dan mentalitas siswa yang tangguh?

Guru juga manusia biasa

Berpuluh-puluh tahun nasibnya mengambang dan menggantung karena pembohongan yang dilakukan oleh politikus dan calon politikus pada saat kampanye saja. Namun, guru tetap tegar dan bersabar, maka mereka tak segan-segan dan malu-malu menjadi pemulung, tukang ojek, dan tukang becak untuk sekadar menyambung nyawa dan utamanya mengajar di kelas, maka belum pantaskah kalau kita memberi penghargaan yang layak padanya.

Seiring dengan itu, guru dalam konteks yang demikian memberi ruang pengetahuan yang objektif, tidak mekanis, dan membuka mata siswa untuk melihat kenyataan yang ada. Pendidikan tidak melulu berupa pembahasan pada buku ajar semata, lebih dari itu bagaimana guru mampu memberi kompetensi nyata dan ide-ide untuk membahas persoalan yang mendera bangsa ini. Tentu, keinginan tersebut tidak lepas dari konsensus politik pemerintah untuk menjadikan sekolah sebagai basis penghasil tenaga kerja yang produktif, inovatif, dan kritis atau peka terhadap realita dan mampu melawan badai globalisasi yang semakin menerpa bangsa ini.

Lagi pula sekarang ini, siswa kesulitan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, karena biaya yang terlampau tinggi. Atas alasan tersebut, sudah saatnya pemerintah memfasilitasi sekolah sehingga dapat mendukung kemampuan sekolah untuk meningkatkan dan membangun life skill dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk masa depan mereka, seperti melek internet, menalar (kelompok ilmiah remaja) kompetensi mengarang (menulis), olahraga, kesenian (musik, tari, melukis), sehingga ketika mereka lulus, setidaknya punya nilai jual yang dapat dijadikan sumber penghasilan. Dan guru berperan besar dalam prosesnya. Konsekuensinya, guru tak cukup dipuji dengan dictum usang guru tanpa tanda jasa, karena guru juga manusia, maka guru perlu berdaya dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun