Setelah disahkannya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, diharapkan pada tahun 2022 seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di provinsi tersebut sudah beralih dan menerapkan sistem Lembaga Keuangan Syariah (LKS).Â
Tentunya penerapan produk hukum yang dihasilkan dari Keistimewaan Aceh tersebut, merupakan implementasi hukum ajaran agama Islam, dalam hal ini mengenai larangan sistem keuangan riba yang masih banyak dianut oleh sistem keuangan Konvensional. Oleh karena itu, komitmen menjadikan Aceh sebagai pronvinsi yang berekonomi Syariah harus mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.
Aceh sebagai daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat isitimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.Â
Selama 3 (tiga) tahun Aceh, telah melakukan proses transisi dari Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) menjadi Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sebagai bentuk penerapan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tersebut. Akan tetapi proses transisi yang dilakukan selama ini, masih kurang efektif dalam membendung layanan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) berbasis Teknologi yang dapat digunakan oleh setiap indvidu masyarakat, seperti Jasa Pinjaman Online atau Layanan Fintech Lending.
Fenomena Pinjaman Online atau Jasa Fintech Lending akhir-akhir ini, menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Apabila kita membaca diberita-berita nasional sepanjang Tahun 2021 ini, cukup banyak sekali pemberitaan mengenai kasus-kasus orang menjadi Depresi hingga bunuh diri, akibat Jasa Pinjaman Online atau Layanan Fintech Lending yang bunganya sangat mencekik.Â
Bahkan dibeberapa berita nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyampaikan, bahwa pinjaman online lebih banyak mudaratnya. Hal ini tentu bertentangan dengan masyarakat Aceh yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dasar agama Islam yang telah menjadikan rahmat bagi seluruh alam dan telah menjadi keyakinan serta pegangan hidup.
Selain melakukan transisi Sistem Perbankan Konvensional menjadi Syariah di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh, harusnya penerapan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah ini juga dapat menghadang layanan jasa pinjaman online atau layanan Fintech Lending, yang masih mengunakan sistem ekonomi konvesional dengan penerapan bunga pinjaman yang tinggi atau riba.Â
Sehingga dengan terobosan sistem pelayanan ekonomi syariah ini, dapat benar-benar menyelamatkan masyarakat Aceh yang notabennya sebagian besar adalah Muslim dari sitem riba demi mewujudkan Spirit ekonomi Syariah Aceh pada tahun 2022.
Bentuk pelarangan yang dapat diterapkan Provinsi Aceh, adalah dengan melarang orang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) Daerah Istimewa Aceh, untuk menjadi Pengguna Jasa Pinjaman Online atau Layanan Fintech Lending.Â
Pelarangan orang ber-KTP Aceh sebagai pengguna jasa Pinjaman Online, adalah bagian dari penerapan Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan, pada ayat (1) yang mengatur ; Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan Prinsip Syari'ah dan pada ayat (2), yang mengatur ; Aqad keuangan di Aceh menggunakan prinsip Syari'ah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Aceh melalui Otoritas Jasa Keuangan, harus mampu memblokir pengajuan Pinjaman Online dari orang-orang yang ber-KTP Provinsi Aceh.
Memang Jasa Pinjaman Online atau Layanan Fintech Lending ini, bagaikan pisau bermata dua, sebab disisi lain, masyarakat yang membutuhkan uang dengan cepat, sangat terbantu dengan adanya Jasa Pinjaman Online ini. Lalu apakah bisa pemerintah Daerah Istimewa Aceh memberikan solusi bagi masyarakat yang membutuhkan uang dengan cepat, sebagaimana yang dilakukan oleh Jasa Pinjaman Online atau Layanan Fintech Lending selama ini ?Â