Â
Baru pertama kali nulis artikel, jadi tolong masukannya dan kalau ada salah-salah kata, mohon dimaafkan sebelumnya.
Â
Masih cerita tentang Bung Ahok yang mau jadi gubernur lewat jalur independen yang menciptakan reaksi beragam, terutama dari partai-partai yang ada. Kalau kita ikuti apa yang terjadi, ini sangat menarik sekali karena mengingatkan saya pada jualan di pasar.
Karena kebetulan saya suka menemani istri belanja di pasar, baik itu pasar sensi (senggol sana senggol sini) atau pasar kaget (kaget setelah ngeliat jumlah yang harus dibayar, karena pas ngambil-ngambil barang dibuat ga kerasa - tahu2 keranjang dorong udah penuh saja), saya tertarik melihat fenomena Ahok dan Parpol ini dilihat dari sudut yang lain, dari sudut pasar.
Di pasar sensi, atau pasar tradisional, para pedagang berkompetisi lewat harga dan pelayanan. Demikian juga di pasar non-tradisional alias supermarket, barang dagangan juga berkompetisi, namun dengan cara yang berbeda yaitu lewat posisi dagangan, kemasan dan tentunya harga. Kita-kita, para pembeli, tentu ingin beli barang bagus dan harganya pas lah untuk kualitasnya. Kita biasanya bete (baca: kesal) kalau 'udah barang mahal, eh, kualitasnya jelek - ditambah lagi kalo yg ngelayaninnya judes minta ampun'. Intinya, kita ini diajarkan dari kecil bahwa setiap barang dan jasa itu ada nilainya dan nilai ini biasanya diukur dan ditukar dengan yang namanya uang.
Dalam kasus Ahok dan Parpol, ada dua barang yang dijual:
Perusahaan A -> Ahok dengan segala sepak terjangnya yang ambil jalur independen dan didukung oleh teman Ahok.
Perusahaan B -> Parpol dengan segala sepak terjangnya yang katanya mau mengusung bakal calon gubernurnya sendiri.
Ijinkan saya untuk mengumpamakan 'parpol' dan ' Ahok dan teman ahok' sebagai perusahaan, agar 'nyambung' dengan tujuan saya untuk membahas hal ini dari sudut pasar. (Karena di pasar yg paling mudah dilihat adalah pertemuan antara perusahaan). Â
Mari kita bahas Perusahaan B: