Sejatinya, surau tidak hanya tempat belajar mengaji. Ia juga menjadi ruang sosial, intelektual, dan spiritual sekaligus. Di sana berkumpul lelaki dari dua generasi untuk saling berbagi; remaja yang menyiapkan diri menghadang dunia dan duda yang telah melewati suka-duka kehidupan dan rantau. Surau juga menjadi arena pertarungan pikiran dari berbagai orang yang belajar di sana melalui pengajian dan diskusi. Sejak yang santai hingga serius.
Marwah surau ditentukan oleh guru yang menjadi pimpinan surau. Marwah itu bukan saja disebabkan kedalaman ilmu sang guru, akan tetapi juga sikapnya terhadap jamaah serta caranya yang bijak dalam memberi pelajaran. Guru selalu melayani siapa pun yang datang bertanya. Termasuk pertanyaan awam yang konyol, seperti yang saya saksikan di surau tempat saya mengaji pada tahun 1970-an di sebuah nagari di Kabupaten Solok, Sumatra Barat ini.
***
Surau itu hanyalah surau kampung biasa. Sejak menjelang kemerdekaan hingga awal 60-an, surau itu dipimpin oleh seorang ulama yang cukup terpandang. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah di kampung sekitar maupun wilayah yang lebih jauh.
Saat saya mengaji di sana, pendiri surau itu telah meninggal. Pimpinan surau dilanjutkan oleh salah seorang murid dari keluarga pendirinya. Meskipun tidak seramai sebelumnya, surau itu tetap menjadi rujukan tentang masalah agama bagi masyarakat sekitarnya.
Tiap kali ada peringatan hari besar keagamaan, jamaahnya dari berbagai kampung datang untuk merayakan. Murid-murid yang pernah mengaji di sana datang bersama keluarga mereka, sehingga surau seringkali tidak cukup menampung jumlah jamaah.
Suatu hari, surau kami kedatangan tamu. Seorang lelaki bermuka tegang. Wajah lelaki separuh baya itu terlihat kusut. "Engku. Saya mau menzakatkan anak saya", kata tamu itu kepada guru kami.
"Tentu saja boleh”, jawab Engku Guru.
“Apa syaratnya?”, tanya tamu itu lagi.
“Syaratnya? Mudah. Kalau anak Sutan sudah cukup senisab...", balas Engku Guru.
"Jadi, berapa nisab untuk wajib menzakatkan anak itu, Engku?"