Matanya selalu merah. Rambut ikal panjang hampir gondrong. Jambang tipis menutupi rahang, menyatu dengan kumis yang meranggas. Seluruh bu;u sejak dari kepala hingga rahang itu seperti tak pernah disentuh sisir. Layak dicurigai, apakah dia mengenal benda yang bernama sisir? Karena ia lebih suka menggunakan jari tangan sebagai sisir sejatinya. Bahunya tegak dengan tangan mengembang ke samping, layaknya seorang jagoan.
Lelaki urakan itu menghardik kami siswa baru dengan suaranya yang lantang. Kalau saja bertemu di luar sekolah, pastilah orang menyangka lelaki itu preman terminal yang sedang separuh mabuk. Tapi aku bertemu lelaki itu di sekolah, bukan di pasar atau terminat. Sebuah madrasah pula! Beliau adalah salah seorang guru kami. Guru favorit malah.
Havids Tanjung, nama guru favorit kami itu, bukanlah seorang guru tetap. Beliau guru honor di sekolah kami. Profesi utamanya adalah wartawan dan penulis di Harian Haluan, yang terbit di Padang. Selain mengajar dan menulis, Pak Havids melatih kami bermain drama. Beliau menulis naskah, melatih bermain, hingga menyiapkan tata panggung untuk setiap pementasan yang dilakukan di sekolah. Â
Di kegiatan Pramuka, Pak Havids menjadi pembina. Beliau mengikuti berbagai kegiatan Pramuka sejak dari tingkat sekolah hingga nasional. Kemudian ia menulis laporan jurnalistik tentang kegiatan Pramuka, sejak dari jambore tingkat daerah hingga tingkat nasional yang diikutinya. Kalau tak ada kegiatan seperti jambore, Pak Havids menulis panduan dan pengetahuan sekitar Pramuka untuk dipublikasikan di Harian Haluan. Sejak dari sejarah dan tokoh kepanduan, pentingnya sandi morse, hingga persiapan yang perlu dilakukan sebelum perkemahan. Seingatku, Pak Havids salah seorang penulis paling aktif dalam bidang Pramuka pada era 1980-an di Sumatra Barat.
Sebagai guru, beliau mengajar Biologi atau Kimia, serta menjadi kepala laboratorium IPA. Oh ya, di OSIS beliau juga menjadi pembina. Selain untuk kegiatan, juga untuk majalah dinding sekolah.
Sekarang jadi jelas kalau beliau itu sejenis makhluk gado-gado, yang rumit untuk dirumuskan. Mungkin itu juga sebabnya dia tampil berbeda dari guru lain, yang lebih senang berkopiah dengan kemeja yang necis. Sedangkan pakaian seragam Pak Havids adalah jaket tipis, untuk menahan tubuh tipisnya dari udara dingin yang bertiup di kaki Merapi-Singgalang.
***
Kantor OSIS hampir tiap hari terbuka dan sibuk mengurus aneka kegiatan siswa. Sebagai anak baru, aku kadang mampir di kantor OSIS sambil menunggu teman untuk bermain voli atau takraw. Di sana ada mesin ketik. Kalau mesin ketik tak ada yang memakai, aku iseng saja mengetik macam-macam. Salah seorang pengurus OSIS melihat kemampuanku mengetik 10 jari. Ia beberapa kali memintaku mengetik surat-surat di kantor itu. Perkenalan itu membuatku senang dan kemudian aktif di organisasi siswa itu. Di organisasi itulah aku mengenal Pak Havids lebih dekat.
Kalau sore, Pak Havids melatih siswa bermain drama. Kadang sehabis berolahraga, aku mengintip orang berlatih drama atau baca puisi. Lama kelamaan, aku jadi suka membaca puisi. Sempat pula memainkan sebuah drama pendek berbahasa Minangkabau. Aku tak punya bakat seni, dan lebih senang bermain voli atau takraw yang menguras keringat. Aku ikut ikut dan menyenangi bidang seni didorong kedekatan dengan Pak Havids.
Suatu hari Pak Havids meminta aku datang ke ruangannya di gedung laboratorium IPA. "Ivan bisa bantu Bapak?", tanya beliau setelah kami duduk berhadapan.
"Bantu apa, Pak?", tanyaku lugu. Pak Havids mengangsurkan setumpuk tulisan dalam sebuah map warna hijau muda.