Lenong Betawi sebagai Tradisi Lisan: Sejarah Singkat Perekaciptaan Tradisi Betawi
Masalah berkenaan Lenong Betawi sebagai tradisi lisan sebetulnya sudah pernah diteliti oleh Ninuk Kleden-Probonegoro (1996).
Ia menyatakan bahwa Lenong Betawi termasuk ke dalam tradisi lisan karena sudah memenuhi unsur-unsur tradisi dan kelisanan yang mencakup:
1. Penurunannya telah dilakukan selama beberapa generasi secara lisan. 2. Bersifat anonim, tidak diketahui siapa penciptanya sebab dimiliki secara kolektif oleh masyarakat Betawi. 3. Tidak terlepas dari berbagai ritual yang dijalankan oleh para pemain sekaligus penyelenggara hajat, seperti suguhan untuk perabot lenong, ngukup (sajian doa-doa untuk kesuksesan), dan susuk untuk ronggeng; 4. Kelisanan yang tampak pada dominasi pembangunan dialog oleh para aktor.
Meskipun demikian, Lenong Betawi diperdebatkan sebab cirinya sebagai teater tradisional kini kian memudar. Kecenderungannya semakin bersifat ke arah populer (pop culture) dibanding tradisional. Hal ini bukan tanpa alasan, perubahan pun tidak selamanya berkonotasi negatif.
Awal 1960-an, Lenong sempat loyo bahkan hampir punah karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi perubahan zaman. Untunglah, teater rakyat ini berhasil dibangkitkan kembali sekitar 1970-an berkat kerja sama antara pemerintah dengan organisasi serta tokoh-tokoh lenong seperti Sumantri Sostrosuwondo dan Djaduk Djajakusuma.
Saat itu, DKI Jakarta sebagai pusat perubahan sosial---ditambah komposisi masyarakat yang heterogen---membuat Betawi sempat mengalami krisis identitas pada tahun 1950-an hingga pemerintah DKI berinisiatif memfasilitasi segala kegiatan yang berkaitan dengan rekacipta tradisi Betawi pada 1970-an (Shahab, 2004:92). Perubahan---baik yang disengaja maupun tidak---dibutuhkan demi mencegah tergerusnya tradisi lisan oleh perubahan zaman.
Lenong Betawi pun mengalami perekaciptaan berupa durasi pertunjukan yang dipersingkat serta penekanan pada aspek humor dan pencak silat dalam pertunjukannya.
Mengingat betapa beragamnya komposisi masyarakat DKI Jakarta, lenong juga dipersiapkan sedemikian rupa agar warga Jakarta non-Betawi turut dapat menikmati lenong (Shahab, 2004:37).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!