Mohon tunggu...
Ivan Sebastian
Ivan Sebastian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

adanturer rules

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

setapak perjalanan

21 November 2013   03:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Puncak adalah bukan yang utama dalam pendakian
justru yang utama adalah prosesnya,
kebersamaannya
setiap langkah kita adalah sejarah
sejarah akan kita ciptakan, setidaknya untuk kita
sendiri”
Aymara
Dieng tidak hanya terkenal dengan candi dan
telaga warnanya saja, buah carica, buah yang
mirip atau sejenis papaya ini banyak mengandung
vitamin C, namun ia kecil, uniknya mungkin karena
pohon ini berada di ketinggian, jadi ia berbuah
kecil, mengkeret, kulup dan gingseng jawa
(Purwaceng) yang tanpa efek samping, justru yg
ada malah “efek depan” (Hahaha intermezzo
sedikit ah kawan), juga merupakan hal yang khas
dari sana, demikian juga kentang, bahkan ada
sebuah kentang yang ajaib, kentang merah, ungu
dan hitam kawan..
Selain itu, nah ini menurut saya yang paling ajieb,
pesona yang luar biasa yang di pancarkan dari
sebuah gunung,. Ya Gunung Prau. Keindahannya
akan membawa ke dalam sisi romantisme jiwa kita,
taman bunganya menyentuh sisi lembut dalam
nurani kita dan bukit-bukitnya yang berayun
mensimbolkan hati dan iman kita yang fluktuatif.
Sementara Pucuk-Pucuk Gunung Sindoro, Sumbing,
Merapi, Merbabu, Lawu, Ciremai, Selamet dan ada
beberapa gunung kecil lainnya seperti Ungaran,
Telomoyo Sikunir dan gunung lainnya semua
bersembulan perlahan di antara kabut-kabut itu,
ketika mentari mulai memberikan sinar lembutny Ia
tak beraturan namun terlihat indah. Lautan awan
itu beriak bergelombang seakan diam namun
sebenarnya ia bergerak mendekati sepasang
gunung suami istri, Sindoro Sumbing
Semua lukisan Tuhan itu seakan membawa kita ke
alam yang lain, alam dimana nurani kita yang
terdalam berdecak kagum akan kekuasaanNya dan
pastinya gunung ini begitu rekomended buat
kawan-kawan daki.
Awal Perjalanan
Gunung Prau, mungkin kawan jarang
mendengarnya, asing di telinga. Namun bagi kawan
yang pernah mengunjunginya sama seperti diriku,
begitu mengagumi guratan tangan Tuhan ini. Ya
gunung ini memang bukan gunung yang menjadi
idola, tapi aku yakin dalam kurun waktu yang tidak
lama lagi, 2 tahun mungkin gunung ini akan
menjadi destinasi pendakian yang akan di
gandrungi dan di gilai pendaki. Karena waktu
tempuh untuk mencapai puncaknya yang tak terlalu
lama, namun view yang di dapat lengkap dan
sempurna. Padang sabananya mirip dengan rinjani,
aku menyebutnya mini Rinjani, hamparan bunga
Daisy (lonte sore)nya memutihkan padang sabana
itu, serta sunset dan sunrise jika cuaca cerah
akan kita dapatkan dengan sempurna.
Aku berniat mendakinya, Aku hunting tiket kereta
jauh-jauh hari, karena aku lebih nyaman dengan
rangkaian besi merayap ini, walaupun ia
besi merayap namun jangan di Tanya
jalannya, ia super cepat dan tanpa kemacetan.Merayap saja cepat tuh besi ya, apa lagi
berdiri, hahahahaha. Lagi-lagi intermezzo kawan.
 Tiket PP sudah di tangan dan aku siap untuk
mengexplore gunung ini.
Kereta Progo perlahan meninggalkan Stasiun
Senen, tepat pukul 22.00, menuju Lempuyangan
Jogjakarta, dan nanti aku akan turun di stasiun
Purwokerto. Kereta sekarang ini sudah bukan
cerita lama lagi kawan, ia begitu on time. Ekonomi
Ac dan tidak boleh merokok lagi di dalam gerbong.
Bagi kita yang perokok, masih ada kok kesempatan
untuk merokok di bordes atau sambungan, namun
sekali lagi kita yang suka narkopian akan terisolir
dari pedagang kopi hingga stasiun Prujakan,
Cirebon. Dan aku tidak ingat di stasiun mana
akhirnya aku mendapatkan pedagang kopi di dalam
kereta ini, yang pasti setelah lewat stasiun
Prujakan, nikmat betul kawan rasa kopi ini. yuk ah
srupuuuuut..mantab benerrrrr..
Subuh, sekira pukul 04.00 aku tiba di stasiun
Purwokerto. Istirahat sejenak dan seperti biasa
aku pesen lagi narkopi segelas, sembari menunggu
agak siangan untuk melanjutkan perjalanan ke
Wonosobo. Stasiun ini begitu sepi kawan, namun
sisa-sisa kekokohannya masih terlihat jelas, rapi
dan bersih membuat kita nyaman berlama-lama di
sini, dan untuk tiduran pun masih enak kawan.
Sekira jam 05.30 aku lanjut ke terminal
Purwokerto dengan menggunakan angkot kecil,
dengan uang Rp 3.000 aku tiba di terminal ini dan
jalanan masih belum bising. Lagi dan lagi untuk
menunggu bis yang ke Wonosobo aku pesen kopi lagi
sekadar untuk menemani asap yang keluar dari
mulut dan hidungku. Tak berapa lama bis seperti
roti tawar itu muncul dan dengan sigap aku
menaikinya. Taraaaa, aku duduk di pinggir kiri,
dengan udara yang masih segar kawan.
Di bis itu aku bergumam, ternyata Banjarnegara
itu luas kawan, ia sepertinya tidak habis-habis.
Hahahahah, setiap tulisan di kanan kiri dari mobil
yang ku tumpangi selalu saja tulisan
Banjarnegara, kota penghasil dawet yang enak ini
sepertinya ada banyak tempat hahahah.. oh iya
dari Purwokerto aku melewati Banyumas-
Banjarnegara dan Wonosobo. Sekira jam 08.00 aku
tiba di Wonosobo dan tidak turun di terminal namun
aku di turunkan di SPBU Klerang, segera ku
hubungi Mas Pii, dan dengan baik hati ia
menjemputku untuk menuju gunung prau.
Asssikk.sekadar pemberitahuan, ada jembatan
longsor dan otomatis mobil bi situ tidak sampai
Wonosobo, hanya sampai pemandangan, dan kita
nyambung lagi ke Dieng.
Jalur Pendakian Gunung Prahu Lewat Patak
Banteng
Gunung Prau ini merupakan gunung yang
memanjang, punggungannya bisa meliputi
beberapa kabupaten, yaitu Wonosobo,
Banjarnegara dan Kendal. Aku memilih jalur Patak
Banteng dan turun via Dieng. Jalur Patak Banteng
ini, menurutku lebih cepat sampainya dan pastinya
dengan waktu tempuh yang lebih cepat otomatis
medan yang kita lalui juga terjal kawan. Aku
mengibaratkan bagi kawan yang sudah mendaki
Gunung Gede via jalur Putri, ini mirip kawan,
medan yang akan kita lalui pertama adalah ladang-
ladang kentang petani yang begitu hijau, indah
dan segar, Kacang Babi sebutan lain dari Kacang
Polong, setelah itu kita akan bertemu anak tangga
yang sudah di buat sedemikian rupa, dan itu adalah
langkah awalu ntuk beradaptasi kaki, dengkul dan
jantung kita. Oh iya di anak tangga ini aku
bertemu dengan anak gimbal khas Dieng, namun
sangat disayangkan ia tak mau di foto, ia malah
nangis…ckckkc.
Setelah melewati anak tangga ini, kita akan
bertemu jalur tanah, dan kebun atau ladang-
ladang kentang penduduk itu masih juga menemani
kita di jalur pendakian ini. Aku begitu
menikmatinya kawan, seperti biasa, aku hisap
rokokku dan asap putih keluar mantab dari hidung
dan mulutku, aku lihat lagi perpaduan antara asap
putih, angina dan kebun yang hijau membawa
anganku melayang jauh ke awang-awang. Jalur ini
masih lebar kawan, kita bisa jalan beriringan
hingga 3 orang. Dari perkampungan penduduk
menuju pos 1, Kita terus saja mengikuti jalan yang
masih besar itu, kemudian tak berapa lama ada
tonggak batu yang baru di buat oleh pemuda sana,
dan kita ambil ke arah kiri kawan. sepertinya kita
tidak membutuhkan waktu yang lama, sekira 45
menit kita akan tiba disana. Dan pastinya dari atas
kita akan lihat hamparan ladang petani berpadu
dengan kabut yang turun secara perlahan selalu
menemani pendakian kita. Aku istirahat sejenak di
pos 1 ini. Aku nikmati hembusan anginnya yang
menjalari kulitku, suara burung dan gesekan daun
begitu merdu kawan. Ia menjadi nyanyian alam nan
indah.
Jalan terus menanjak, membuat nafasku engap dan
degup jantungku yang sudah tak beraturan. Aku
atur nafasku. Sembari istirahat di tengah jalan
sebentar. Tarik nafaas, buang pelan-pelan. Begitu
terus. Kembali nafasku normal kembali. Setelah
aku rasa cukup, aku lanjutkan perjalanan ini.
Medan tanah masih terus mengikuti langkah kita,
jalan setapak itu aku tembus, begitu juga dengan
kabutnya. Medan itu, kini semakin terjal kawan.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah aku
kayuhkan kakiku untuk menggapainya. Sukses,
akar yang melintang itu mampu aku kalahkan
kawan, batu licin itu sanggup aku singkirkan dank
abut itu berhasil aku tembus. Kini sore mulai
menjelang dan kuambil headlampku untuk
menerangi langkahku yang mulai gontai. Mungkin
headlamp ini menarik perhatian kunang-kunang,
ya karena kunang-kunang itu, yang banyak orang
bilang itu adalah “kuku setan� terus
menghampiriku. Aku terus susuri jalan setapak
itu, perlahan namun pasti, kadang langkah buta ini
terperosok ke dalam lubang, terpeleset dan
tersandung akar pohon. Tetap aku nikmati
pendakian ini, karena jelas ini adalah penyeimbang
dalam kerja paruku, dimana disini aku hirup
oksigen murni yang tidak aku dapatkan di Jakarta
dan Depok. Aku lihat plang di pohon itu tertera pos
2, ya aku tiba di pos 2 dengan aman lancar dan
terkendali. Seperti biasa aku istirahat sejenak,
sambil aku ambil minum untuk sekadar membasahi
tenggorokanku yang sudah kering, ku ambil
sebatang rokokku dan lagi dan lagi kepulan asap itu
berbaur dengan kabut yang sedari tadi selalu saja
menemani pendakianku ini. Di Pos ini kami ngobrol
bareng Mas Pii, bercerita tentang desanya dan
kegiatan yang di lakukannya, ternyata sungguh
luar biasa apa yang di lakukan oleh Mas Pii.
Rupanya ia mengelola sebuah perpustakaan
daerah, kelompok tani, dan mendirikan Bull Eggs
Adventure. Dan bagi kawan yang hendak mendaki
Gunung Prau bisa menghubungi langsung mas Pii
ini, orangnya ramah, terbuka dan easy going. Aku
pun sebenarnya baru pertama kali kenal, dan
sepertinya aku begitu nyambung membahas semua
hal. Itu saktinya dunia maya kawan.
Semua kegiatan itu di lakukan oleh anak-anak
muda di sana yang bercita-cita ingin membangun
desanya agar lebih baik dari Mas Pii dan kawan-
kawan volunteer lainnya di desa Patak Banteng
itu, sungguh cita-cita yang mulia yang hanya
keluar dari pemikiran yang mulia dan juga luar
biasa. Ia bahkan pernah menjadi pembicara di hotel
Gracia Semarang, berbicara tentang konservasi di
daerahnya dan memberdayakan masyarakat
desanya.
Setelah ngobrol ngalor ngidul itu, dan istirahat
cukup kami lanjutkan pendakian untuk menuju pos
3. seperti biasa jalur masih menanjak dan terus
menanjak, dengusan nafasku kini seperti mobil tua
yang ringkih dan berat. Langkah kakiku sudah tak
beraturan, dengkul dan pahaku juga sudah berat.
Namun mungkin itu adaptasi yang  terlalu lama
buat kakiku. Aku berhenti setelah beberapa
langkah, aku lanjutkan lagi langkahku. Pohon-
pohon besar itu sekarang mulai terlihat samar. Dan
dari headlampku jelas terlihat kabut begitu tebal
turun kembali menjalari kulitku lagi. Aku terus
melangkahkan kakiku dan ternyata tak berapa lama
aku tiba di pos 3. hufth perjalanan yang
melelahkan, dan aku baringkan tubuhku, istirahat,
kembali kuambil airku, kuteguk nyeeeess,
tenggorokanku langsung basah lagi dan kuambil
coklatku sekadar untuk menambah tenaga yang
tadi sudah terkuras.
Kembali kami ngobrol dengan Mas Pii, dan bahkan
Aku berandai andai, jika anggota DPR kita yang
terhormat itu melakukan pendakian massal seru
kali ya. Hahaha.biar anggota DPR kita itu tahu
bahwa alam nusantara ini begitu kaya, sejarah
dan budaya kita luhung, dan setidaknya jika sudah
berinteraksi dengan masyarakat sekitar akan
membuat suatu kebijakan yang pro rakyat. Dan
pastinya jika semua fraksi di DPR itu ikut
pendakian massal kan tingkat kebersamaannya
semakin kokoh, dan mottonya pun berubah,
tidak ada kepentingan yang abadi, yang ada
adalah kebersamaan yang abadi untuk membuat
kebijakan yang pro rakyat. Assssikkk. Andai
itu semua benar..eaaaaaaaaaaaaa.
Kami terus berjalan, sekarang jalur yang aku lalui
di kenal dengan jalur cacing, ya, pos 3 menuju pos
4 ini jalurnya mirip spiral, dan kita akan terus
menjalaninya. Justru jalur ini adalah jalur yang
paling terjal diantara jalur pos 1 ke pos 3. kita
harus pandai-pandai membuat pondasi kaki kita
kuat, jangan sampai kita terpeleset, karena jalur
ini licin kawan, dan jika terpelset atau
terperosok, engkel kita kena, waw, akan sangat
menyiksa bagi kita kawan, yang ada kita bukan
menikmati pendakian tapi malah penyiksaan
pendakian buat kita. Aku sabar menjalani medan
terjal ini, kini adaptasiku sudah bagus, aku atur
nafasku, kakiku semakin kuat dan tegar.
Langkahku mantab, karena aku dengar dari Mas
Pii, bahwa aku akan sampai puncak, ya hanya 4 pos
saja yang akan kita daki kawan, setelah itu landai,
puncak dan patok sebagai tanda bahwa itu adalah
puncak Prau.
Langkahku semakin cepat, semangat 45, layaknya
pasukan Bung Tomo di Surabaya, ketika
mempertahankan serangan dari Londo-Londo itu.
aku tidak hiraukan nafasku yang terengah, aku
ingin segera tiba di puncak Prau, mas Pii berkata,
“itu, di balik batu itu, kita akan tiba di jalur
yang landai, itu, ya batu itu sebagai batas atau
tanda bahwa aku akan segera tiba di Puncak Prau.
Aku bergetar, aku sentuh batu itu, tanda itu,
perlahan dan aku berucap syukur, akhirnya aku
tiba di jalur landai, yang menurut kalangan para
pendaki ini merupakan bonus, namun bagiku ini
merupakan gaji ke 13 atau cuti hamil,
hahahahaha…
Kini langkahku semakin panjang, setelah beberapa
langkah dari batu itu aku terkesima, pekatnya
malam itu, gulita suasana itu tidak mengganggu
pandanganku, hamparan sabana dan bukit itu
terlihat siluet, temaram namun damai, terangnya
sinar rembulan membantu suasana itu menjadi
begitu syahdu. Semilir angin di puncak itu begitu
kencang membuat kulitku dengan cepat
beradapatasi, milyaran bintang gemintang
menyambut kedatangan kami. Tampak Gunung
Sindoro Sumbing tetap kokoh dengan segitiga
kerucutnya selalu memperhatikan tingkahku. Aku
bersalaman dengan mas Pii, mengucapkan syukur
kepada Tuhan yang masih memberikan kesempatan
kepada hambanya ini untuk menikmati lukisanNYA.
Aku ingin menikmati malam ini, ya menikmati
kabutnya, hembusan anginnya dan juga sruputan
narkopian di ketinggian.
Oh ya, ku beri tahu satu hal kawan, bahwa pada
malan itu Gunung Prau adalah milik kami, ya
karena hanya kami yang ada disana. “Apika
senior� (tenda), kenapa aku bilang demikian
karena “apika junior� masih di dd Iis. Aku
dan Mas Pii. Di puncak itu lagi-lagi kami
berseloroh, “Apa engga kaya, kitaâ€� â
€œrumah kita punya, bahkan sangat luas
halamannya, bahkan pintunya pun bisa kita
arahkan persis ke depan Gunung Sindoro dan
Sumbing�, “atap kita bermilyar gemintang
yang kadang-kadang ia memainkan cahayanyaâ
€�, Kadang ada bintang yang jatuh, dan langsung
aku berteriak “Aku ingin hidup pas-pasan�
eits jangan salah tafsir dulu, pas-pasan ini makna
hakiki kawan. Pas aku mau hiking pas aku ada
waktu, tenaga dan tiket. Pas aku mau traveling,
pas aku dapet tiket promo dan ada uang. Pas aku
mau beli rumah pas aku dapat undian rumah
gratis..hahahaha. intermezzo kawan. Jangan
terlalu serius ah.
Segera kami mendirikan tenda dalam keheningan
gunung Prau ini, beres, memasak dan ritual
narkopian pastinya tak ketinggalan, lalu lanjut
ngobrol ngalor ngidul, oh iya di sini juga, akhirnya
aku merasakan kentang merah, kentang ajaib itu,
ya kenapa kentang ini ajaib? Karena walaupun
bibit yang kita tanam itu adalah kentang merah,
namun tetap saja jika panen, tidak melulu itu kan
menghasilkan kentang merah, ya tetap saja yang
dominan kentang kuning, ia hanya berbuah sekira
1-5 pohonnya saja, ajaibkan kawan.
Ketika hembusannya sudah mulai menjalari kulit
kami, dan rasa dingin mulai menyerang, aku masuk
tenda dan zzzzzzzttttt. Nyenyak sekali aku tidur,
pagi jam 05.00 aku terbangun dan menikmati rasa
dingin ini, melihat moment pagi di puncak prau
sendirian, mas Pii masih tertidur dengan
nyenyaknya. Aku coba melihat lembayung itu, sinar
jingganya masih belum terlihat, gelap suasana pagi
itu membuat aku harap-harap cemas, apakah aku
akan mendapatkan moment matahari terbit,
matahari yang memberikan kehangatan dan
pencerahan kepada semua makhluk hidup di dunia
ini.
Perlahan namun pasti, sinar jingga itu keluar,
sedikit samar dan temaram, namun itu adalah
tanda bahwa moment dimana matahari akan keluar
sempurna akan jelas terlihat. Aku perhatikan
terus kawan, moment itu negitu indah, matahari
telah bangun dari peraduannya kini.
Sinar jingga, bahkan kemerahan memantulkan
cahayanya berbaur dengan suasana pagi itu dan
dengan awan yang putih, ia menghasilkan sebuah
corak yang luar biasa, abstrak namun jelas dan
indah. Semua moment itu aku abadikan dalam
senjata pamungkasku dan dalam memori otakku.
Aku menikmati itu semua kawan. Moment itu
begitu syahdu,indah dan damai. hati kecil ini
berguman betapa kuasa tuhan itu luas biasa,
menciptakan lukisan dengan indahnya, namun jika
alam itu murka, gunung itu meletus, tanah itu
longsor, keindahan itu tak terlihat yang ada adalah
kejam dan bengisnya alam ini. tapi alam murka itu
bukan kehendaknya, namun harus di ingat ia murka
karena tangan jahil kita juga, badut-badut
serakah juga yang membabat habis hutan kita,
tanah sebagai resapan air beruabah menjadi villa
dsb.
Setelah puas menikmati alamnya dan puas juga
mengeluarkan uneg-uneg di dada, aku segera
packing untuk turun melalui Jalur Dieng, tepatnya
nanti aku akan turun di gerbang SLTP 2 Kejajar.
Kembali ke alam nyata, kembali menghadapi
rutinitas dengan kebisingan kota dan hiruk pikuk
poltik yang semakin absurd dan tidak jelas. Untuk
menghilangkan itu semua aku berdendang lagu
Bang Iwan
Dari gunung ke gunung
Menembus lembah kabut dan jurang
Melewati hutan pinus
Melewati jalan setapak
Mendengar gesekan daun dan burung-burung
Menikmati aroma tanah dan segarnya udara
Jauh dari kebingungan sehari-hari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun