"Sahkan RUU Perampasan Aset sekarang juga!" Begitu suara di luar ramai terdengar. "Pemberantasan korupsi akan sulit dilakukan tanpa RUU itu!" Suara lain menimpali. Apakah benar demikian?
Mendengar suara-suara itu, sepertinya publik digiring untuk percaya bahwa negara tak berdaya melawan koruptor karena belum memiliki Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Narasi ini terus dibangun: kalau tidak ada RUU ini, maka negara akan selalu kalah dan harta para koruptor akan aman di tangan keluarga mereka.
Padahal faktanya: negara kita tidak lemah. Negara justru sudah sangat kuat. Bahkan terlalu kuat hingga kadang melampaui prinsip hukum dan keadilan. Buktinya?
Buktinya, hanya dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2022, aparat negara dapat menyita aset pribadi seseorang tanpa proses pengadilan, tanpa pembuktian keterlibatan dalam tindak pidana.
Saya menemukan dan menyaksikan sendiri betapa negara begitu kuat dalam menyita aset seseorang, yang justru bukan koruptor, bukan obligor, atau apapun yang menjadi tuduhan. Salah satu contoh korbannya, Andri Tedjadharma. Pemegang saham Bank Centris Internasional.
Andri bukan penanggung utang negara. Bukan obligor BLBI. Apalagi koruptor. Tapi, harta pribadinya berupa lahan di Bali dan Bandung, villa di Bogor, kantor dan rumah di Jakarta, telah disita oleh negara. Dalam hal ini oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta 1, Kementerian Keuangan.
Sebagai pemegang saham Bank Centris Internasional, Andri tidak pernah dijatuhi pidana, tidak pernah menandatangani perjanjian utang kepada negara, dan Bank Centris miliknya, terbukti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000, bukan penerima BLBI. Namun, KPKNL dan Satgas BLBI tetap menyita rumah dan aset pribadinya, berdasarkan tafsir sepihak terhadap PP 28. Masih butuh RUU Perampasan Aset?
Bukan karena RUU belum ada, tapi karena hukum yang ada saja sudah disalahgunakan.
Contoh lainnya adalah kasus Irjanto Ongko, anak dari Kaharudin Ongko, mantan pemilik Bank Umum Nasional. Irjanto tidak pernah ditetapkan sebagai pelaku kejahatan. Namun hartanya tetap disita, meski telah dimiliki jauh sebelum kasus BLBI meledak.
Aset milik Irjanto yang disita Satgas BLBI, SHM no 00553/Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, seluas 1.825 m2, berikut bangunan yang berdiri di atasnya. Satu aset lagi, sebidang tanah SHM No. 00554/Kuningan Timur seluas 1.047 m2 juga dengan bangunan di atasnya.
Irjanto tidak terima aset pribadinya disita. Ia menggugat penyitaan itu ke PTUN, dan menuntut ganti rugi Rp216,1 milyar. Di tingkat bawah, gugatannya dikabulkan. Begitu juga di tingkat banding. Irjanto menang. Tapi, pada tingkat kasasi, ia kalah.