Dalam dunia perbankan Indonesia yang gemerlap, nama Andri Tedjadharma tidak hanya mencuat karena prestasinya, tetapi juga karena perjuangannya yang gigih melawan ketidakadilan sistem.
Komisaris sekaligus pemegang saham PT. Bank Centris Internasional (BCI), Andri, kini menjadi tokoh utama dalam pertempuran hukum yang menggemparkan, menghadapi Pemerintah Republik Indonesia dan Bank Indonesia terkait kasus kontroversial Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 171/Pdt.G/2004/PN. JKT. PST.
Kisah dramatis bermula pada tahun 1998, dengan BCI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 4 April 1998. Padahal, posisi BCI saat itu sedang terikat perjanjian dengan Bank Indonesia, seperti tertuang dalam Akte 46 dan 47, yang baru akan berakhir pada Desember 1998.
Sekadar diketahui, Akte 46 merupakan perjanjian jual beli promes nasabah BCI -- hak tagih BCI kepada nasabahnya -- senilai Rp492 milyar dengan jaminan lahan seluas 452 hektar. Adapun Akte 47 merupakan perjanjian gadai saham.
Kisah dramatis berlanjut ketika BPPN menagih dan menuding BCI menerima dana BLBI. BPPN menagih BCI merujuk Akte 39, yakni perjanjian BPPN dengan BI tentang pengalihan hak tagih (Cessie) BCI.
Tagihan BPPN kepada BCI berlanjut dengan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000, dalam nomor perkara 350/Pdt.G/2000/PN.JAK.SEL. Gugatan BPPN kemudian ditolak majelis hakim. Begitu juga di tingkat banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, seperti tertuang dalam putusan 554/PDT/2000/PT. DKI, tanggal 4 Juni 2002.
Sejak 2002 itu, kisah dramatis berhenti cukup lama hingga 2021 dengan dibentuknya Satgas BLBI, sampai pada akhirnya bergulir gugatan Andri terhadap Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia atas perbuatan melawan hukum.
Dalam gugatannya, Andri, didukung oleh kuasa hukumnya, I Made Parwata, S.H., menegaskan upaya untuk mencari kejelasan dan keadilan dari BPPN, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Surat-menyurat dan permohonan penjelasan yang Andri layangkan tidak direspons dengan baik.
Kesimpangsiuran ini mendorong Andri untuk memutuskan untuk mengambil langkah hukum, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Pemerintah Republik Indonesia dan Bank Indonesia. Gugatannya tidak hanya menyoroti aspek individual dari kasusnya sendiri, tetapi juga mengungkapkan kelemahan dalam penanganan kasus BLBI secara keseluruhan oleh pihak berwenang.
Pada putusan terbaru, putusan PTUN dan PT TUN DKI Jakarta, memberikan dukungan hukum yang signifikan terhadap gugatannya, mengakui bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia terhadap BCI tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku. Keputusan ini menjadi titik terang dalam perjuangan Andri untuk memulihkan reputasinya dan membuktikan ketidakadilan yang dialaminya.
Pertarungan hukum Andri Tedjadharma bukan hanya sekadar upaya untuk menghapus utang yang dianggap tidak adil, tetapi juga misi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia. Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak-hak individu dalam setiap tindakan yang melibatkan harta negara dan kepentingan publik.