"bukan yang tajam, tapi yang sungguh-sungguh", kata-kata dari Pak Salman itu lah yang masih terngiang sampai sekarang. Kalimat yang saya dapat sewaktu menonton "Negeri 5 Menara" bersama seorang teman saya waktu itu. Saya menonton film ini hari Minggu (8/4) kemarin, sebenarnya tayangnya sudah lama, tapi baru sampai di kota saya awal April lalu. Yah, maklum lah, belum ada bioskop 21 di Kota Kediri, kota saya. Jadi kalau ada premiere film terbaru belum bisa langsung menonton. Kembali ke perkataan Pak Salman tadi, menurut saya juga termasuk mantra ajaib yang diikuti mantra "man jadda wajada". Setelah mendengar itu saya langsung terdiam dan pikiran saya bermain ke sana ke mari. Mengapa banyak orang, termasuk saya menganggap keberhasilan yang diraih adalah karena sudah suratan dari-Nya. Dengan kata lain banyak yang menganggap diri kita lebih rendah dari orang lain. Padahal kita semua diciptakan sama. Seperti tersentil mendengar kalimat dari salah seorang sahibul menara itu. Benar juga, dalam hati saya membenarkan perkataan itu. Memang bukan kapasitas otak yang menentukan, tapi kesungguhan kita. Seperti mendapat suntikan semangat dari menonton film itu. Cerita bearawal dari Alif Fikri yang oleh orang tuanya dikirim untuk belajar di Pondk Madani. Di sana Alif bertemu Baso, Atang, Dulmajid, Raja,dan Said yang kemudian menjadi sahabatnya. Singkat cerita mereka menjadi dekat dan mendapat sebutan sahibul menara karena selalu berkumpul di bawah menara. Diwarnai juga dengan perasaan Alif kepada Sarah, keponakan Kyai Rais. Adegan mengharukan adalah ketika Baso harus kembali ke Gowa, kampung halamannya untuk merawat sang nenek dan tidak bisa meneruskan pendidikan di PM. Kisah sahibul menara terus berlanjut walau tanpa Baso. Pementasan untuk kelulusan kelas akhir mereka menampilkan kisah Ibnu Bathutah demi kawan mereka, Baso, yang sangat mengidolakan Ibnu Bathutah. Akhir cerita ditutup dengan adegan Alif yang berada di Amerika sebagai seorang reporter dari Voice of America (VOA) dan pertemuan mengahrukan dengan dua sahibul menara yang lain yang sudah sukses kemudian mereka menelepon tiga sahibul menara lain yang ternyata berada di satu tempat dan berhasil meraih mimpinya. Yang disajikan dalam film pada awalnya sekilas sama dengan novelnya. Namun setelah selesai dan saya bandingkan dengan novelnya ternyata ada perbedaan. Memang untuk menggarap film dari sebuah novel membutuhkan banyak ketelitian karena para pembaca novel akan sudah sangat hafal dengan karakter maupun kisah yang disajikan. Berbeda sedikit saja penonton yang sudah membaca akan langsung melihatnya. Nah, sewaktu saya menonton memang ada sedikit ketidakpuasan karena cerita di film banyak sekali perbedaan dengan di novel. Misalnya saja pada waktu pementasan untuk perpisahan yang menampilkan kisah Ibnu Bathutah. Di film diceritakan sahibul menara (kecuali Baso) masih duduk di kelas 2, padahal seingat saya di novel pementasan itu waktu mereka akan lulus. Sewaktu Alif berusaha berfoto dengan Sarah juga ada perbedaan. Di film Alif tidak berhasil mengambil gambar dengan Sarah, padahal di novel berhasil. Dan karakter dalam film juga sangat jauh dengan bayangan saya sewaktu membaca novel. Yah, mungkin karena sifat dasar manusia yang tidak akan pernah puas, jadi saya merasa kurang puas setelah menonton film ini. Tapi disyukuri saja dengan adanya film ini dapat menambah jumlah film yang memberikan tuntunan di tengah maraknya industri film Indonesia yang sangat miris ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H