Berdasarkan pemberitaan pada minggu lalu, Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin diundang sebagai keynote speaker di hadapan para peserta World Conservation Congress (WCC) yang diselenggarakan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada Senin (5/9/2016).
Mengutip dari Harian Radar Palembang, Senin 5 September halaman 3, Alex memaparkan sebuah paradigma baru bertajuk “Sustainable Landscape Management”. Ia menjelaskan data kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel pada 2015 lalu adalah seluas 700.000 hektar. Atas insiden tersebut, Alex menggagas penanganan kebakaran dengan melibatkan multi-stakeholder.
Upaya tersebut guna melaksanakan pengelolaan secara ecoregion, yakni pemanfaatan sumber daya hayati yang menguntungkan secara ekonomi bagi semua pihak yang menggantungkan hidupnya pada hasil alam hutan, dan berkelanjutan secara ekologi.
Multi-stakeholder secara harfiah dapat diartikan banyak pemangku kepentingan, meliputi pemerintah, pelaku bisnis, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Inilah yang mendasari pihak pemda Sumsel bermitra dengan salah satu perusahaan yang memiliki lahan konsesi di wilayahnya, yaitu Asia Pulp & Paper (APP). APP juga telah menerapkan paradigma baru dalam menjalankan bisnisnya. Dalam proses produksinya, sejak tahun 2013 APP sudah tidak lagi menggunakan hutan alam sebagai bahan baku, melainkan hanya sumber daya yang berasal dari hutan tanaman industri (HTI) di wilayah konsesinya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pelaksana Program Keberlanjutan APP, Aida Greenbury mengkritisi skema pendanaan dalam penanganan perubahan iklim yang tidak berjalan efektif dan kurang tepat sasaran. Aida mengusulkan dana perubahan iklim dihibahkan dalam bentuk insentif untuk para petani, yang dapat dialokasikan sebagai modal usaha (Rakyat Merdeka, Senin 5 September 2016, halaman 14).
Sebelumnya forum global COP21 (21st Conference for the Parties) menetapkan aturan karbon berbayar. Setiap bisnis apabila dalam proses produksinya menghasilkan emisi karbondioksida diwajibkan membayar sejumlah biaya, sebagai kompensasi kerusakan lingkungan dan punishment akibat melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Bahkan sejak Desember 2015 lalu organisasi global ini memiliki target ambisius sebesar 100 miliar USD hingga tahun 2020.
Mekanisme yang disampaikan Aida, bahwa COP21 seharusnya membagikan dana karbon berbayar tersebut kepada masyarakat sipil. Pasalnya jika terjadi deforestasi, pihak pertama yang paling terdampak adalah masyarakat khususnya petani, mereka bisa kehilangan sumber penghidupan utama.
Keterlibatan multi-stakeholder juga dibuktikan dengan menghibahkan lahan konsesi di Sumsel. Salah satunya yaitu komitmen membebaskan lahan gambut yang merupakan bagian dari wilayah konsesi APP, untuk dikelola masyarakat seluas 407.163 hektar.
Bagaimana pun juga, paparan Alex yang digadang-gadang sebagai paradigma baru itu, merupakan gagasan baik dalam upaya restorasi hutan, sekaligus mengeliminasi faktor-faktor pencetus karhutla yang telah terjadi di tahun lalu.
Gagasan yang baik rasanya mudah dicetuskan, tetapi tidak demikian implementasinya. Hutan sangat luas, bahkan kita pun perlu memastikan bahwa lahan gambut seluas 407.163 hektar itu sungguh-sungguh dimanfaatkan masyarakat sebagaimana peruntukannya.
Maka gagasan baru ini tentu butuh perhatian kita semua sebagai elemen masyarakat sipil untuk mengawal keberhasilannya. Dan kita harapkan, media sebagai watchdog juga mampu memberitakannya secara proporsional dan objektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H