Korupsi, tangan besi, kemiskinan, dan penangguran menjadi alasan rakyat Mesir akhirnya berani mengatakan ‘tidak’ kepada rezim Mubarak setelah 30 tahun. Terkait ini, sejumlah warga yang turut dalam demontasi ‘satu juta orang’ di Tahrir Square, Selasa, menceritakan kisah pribadi mereka. Kisah inilah yang mendorong mereka ikut turun ke jalan.
Sahar Ahmad, 41, seorang ibu satu anak dan guru, mengatakan dirinya telah mengajar selama 22 tahun, dan hinga kini masih saja digaji hanya 70 dolar AS per bulan. “Ada 120 siswa di kelas saya. Jumlah ini di luar batas yang mampu ditangani oleh guru mana pun.”
Ia melanjutkan, baginya, perubahan rezim berarti sistem pendidikan yang lebih baik, sistem di mana ia akan mengajar, dan sistem yang menjamin kehidupan yang lebih baik bagi siswa setelah sekolah.
Tamer Adly, supir minibus yang lalu lalang di Kairo, mengatakan dirinya muak terhadap penghinaan sehari-hari yang ia rasakan dari polisi yang meminta tumpangan gratis dan menganggap dirinya layaknya pesuruh. Perasaan ini mencerminkan kemarahan publik terhadap kesombongan polisi.
“Mereka meminta sarapan saya dengan memaksa, memaksa saya untuk mengambilkan koran untuk mereka. Negara ini bukan milik satu kelompok,” ujar Adly yang berusia 30 tahun.
Sementara bagi pengunjuk rasa berusia tua, perasaan kagum terhadap generasi muda yang berani menentang Mubarak mendorong mereka turun ke jalan. “Kami tak mungkin berani mengatakan ‘tidak’ kepada Mubarak saat kami muda, namun pemuda kita sekarang membuktikan mereka bisa mengatakan ‘tidak’. Saya di sini untuk mendukung mereka,” ujar Yusra Mahmoud, kepala sekolah berusia 46 tahun, yang mengaku telah dua malam menginap di Tahrir Square.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H