Pagi ini pagi keempat berada jauh dari rumah lagi. Tiba-tiba teringat perjalananku menuju bandara lima hari lalu. Aku naik taksi yang kupesan tidak melalui operator perusahaan karena khawatir menunggu terlalu lama sementara aku sudah hampir terlambat. Aku menelpon taksi langganan yang menawarkan jasanya untuk dihubungi jika menginginkan perjalanan yang singkat dan tak perlu menunggu lama dijemput di rumah, persis seperti apa yang kuinginkan saat itu.
Sudah beberapa supir taksi yang menawarkan jasa seperti itu, keuntungan mereka pastilah bayaran harga yang cukup lumayan karena jarak rumahku dan bandara yang cukup jauh. Aku juga tak masalah dengan hal ini karena menurutku mereka tetap berlaku jujur dengan tetap menggunakan argo. Cukup adil.Dan di antara sekian supir yang menawarkan, supir yang belakangan kutahu bernama Rusdi-lah yang paling sering kuhubungi. Selain karena kecepatan membawa taksinya yang membuatku puas, juga karena ada kesan yang dia tinggalkan. Dia, beristri dua tapi sekarang tak seorangpun istri yang menemaninya. Lucu juga. Selain itu dia lumayan ‘ribut’ jadi perjalanan ke bandara tak sepi dari bahan obrolan yang ringan, lucu dan menyenangkan. Selain itu, dia tak masalah kalau taksinya ditumpangi lebih dari empat orang, seperti yang kami lakukan (aku dan saudari-saudariku beserta empat ponakanku yang rasanya ramenya sekampung, hehehe.)
Dia tidak seperti seorang supir yang mengumpat panjang pendek karena sempat menabrak gundukan bekas timbunan pipa PDAM yang ada di jalan depan rumah. Alhasil, sepanjang perjalanan ke rumah adikku waktu itu aku dan adikku harus mendengarkan dengan rasa yang tak nyaman. Untungnya setelah adikku disinggahkan di rumah adikku yang lain aku menegaskan, kalau dia mau aku tetap di taksi dan melanjutkan perjalanan dia harus berhenti mengeluh karena toh yang salah dia sendiri karena tak berhati-hati. Kalau aku yang jadi supir, sudah pasti bisa dimaklumi karena aku memang tak bisa nyetir, kalau dia dengan segala pengalaman supirnya, rasanya tidak pantas dia mengeluh sampai segitunya. Tidakjuga seperti seorang supir yang menyetel musik kencang-kencang, bikin telinga jadi gak nyaman. Atau supir yang hobi mencari rute terpanjang untuk mencapai tujuan.
Sejak dulu, aku sebenarnya suka sekali berbicara dengan supir taksi, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran terutama tentang pengalaman hidup mereka yang sebagian besar di antaranya adalah para perantau. Ada yang belum pernah pulang kampung sejak enam tahun yang lalu, sejak dia menginjakkan kaki di kendari. Ada yang ternyata tetangga teman sekantor. Ada yang akhirnya berhasil memiliki angkot dan motor serta taksi yang dipakainya itu. Karena ternyata ada perusahaan yang memberi peluang untuk memiliki taksi yang mereka bawa sendiri setelah waktu tertentu dengan syarat tertentu pula. Jadi si Bapak ini, selain jadi supir taksi, dia nyambi jadi tukang ojek sembari menunggu panggilan taksi. Kadang pula dia jadi supir untuk angkotnya sendiri. Semangat sekali dia mencari nafkah. Katanya, dia ingin anak-anaknya yang berjumlah tiga itu, tidak boleh hanya jadi supir taksi sepertinya karena tidak berpendidikan, haruslah lebih daripada dia. Katanya dia sudah merasakan betapa tidak enaknya tak berpendidikan. Kurasa banyak orangtua yang berpikiran seperti ini. Dan aku sungguh salut.
Ada juga supir taksi yang membicarakan kejengkelannya pada perempuan-perempuan yang tak berjilbab yang mengumbar auratnya di mana-mana dengan cara yang menurutnya sangat tidak sopan. Juga sangat tidak suka pada perempuan berjilbab yang ternyata punya moral yang tidak bagus. Mudah-mudahan Bapak ini di rumahnya bisa mendidik anak perempuannya menjadi perempuan yang berakhlak mulia.
Oh ya, aku hampir lupa memberitahu bahwa supir taksi yang lima hari lalu menjemputku itu bukanlah Rusdi, tapi temannya. Yang aku tak tahu siapa namanya. Perawakannya tinggi besar, kelihatan sangar tapi ternyata bicara sangat santun dan sistematis. Dari awal aku lumayan kagum mendapati kalimat-kalimat yang dikeluarkannya sistematis dengan pilihan kata yang sangat cerdas menurutku, tidak seperti supir kebanyakan. Wawasannya luas, itu kesimpulanku. Dia membahas masalah ekonomi yang aku sangat jarang memperhatikan dalam keseharianku. Kisaran harga tiket pesawat kelas ekonomi dan eksekutif tak luput dia bahas. Juga tentang tanda-tanda kedatangan pesawat yang dia perkirakan tidak lama lagi. Aku tanya padanya kenapa dia bisa tahu padahal kemungkinan delay pastilah ada karena cuaca kendari saat itu yang mendung dengan langit yang menghitam. Dia jawab, itu bisa dilihat dari lampu di menara di sudut kiri bandara yang telah menyala dan berputar-putar. Dan itu memang benar. Pesawatnya mendarat tepat waktu, walaupun waktu tinggal landasnya ditunda beberapa menit karena hujan. Bukan saja soal ekonomi, tentang politik pun dia bahas. Yang paling menarik, setelah dia tahu aku kerja di kantor agama, dia akhirnya bertanya tentang pergantian kepala kantor yang memang baru terjadi dua hari sebelumnya. Perjalanan ke bandara waktu itu tak terasa sampai, dan aku harus menuntaskan rasa penasaranku akan keluasan wawasan si supir itu, hehe.. maka bertanyalah aku siapa sebenarnya dia. Ternyata dugaanku cukup beralasan, karena ternyata dia sebenarnya adalah dosen honorer di universitas negeri di kotaku. Katanya dia hanya bawa taksi kalau temannya, Rusdi, langgananku itu sedang berhalangan. Daripada dia kelebihan waktu luang dan belum fix jadi pegawai, ada baiknya dia jadi supir taksi, yang menurutnya bisa membuatnya lebih banyak mengenal karakter orang. Ckckck.. aku tersenyum salut. Mudah-mudahan Allah selalu memberi kelimpahan rezeki pada orang-orang yang tak pernah berhenti berusaha dan tak putus asa dengan rahmat Tuhan seperti dia ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI