Mohon tunggu...
Nisia Hellal
Nisia Hellal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia

A person with unhealthy obsession about poetry, art & design, and branding

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Identitas Budaya Kasta dalam Puisi Percintaan Pawang Karya Oka Rusmini: Kajian Antropologi Sastra

18 Juni 2023   14:54 Diperbarui: 18 Juni 2023   14:54 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia dikenal sebagai makhluk yang mudah beradaptasi di dunia. Hal tersebut memungkinkan terjadi kondisi yang berbeda-beda seperti adanya kebutuhan dan kepentingan khusus. Manusia juga memiliki keinginan untuk mengetahui hal yang tidak diketahui, mengendalikan suatu hal yang tak terkendalikan, dan menciptakan keteraturan dari kekacauan (Kottak, 2017:3). Manusia memiliki sifat dasar yakni kreativitas, mudah beradaptasi, dan memiliki fleksibilitas. Kemudian, manusia berbagi kehidupan dengan komunitasnya yang berdampingan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti binatang dan tumbuhan. Dalam kehidupan berkelompok yang berlangsung dengan waktu yang lama dan berdiam di suatu tempat tertentu akan menghasilkan suatu tradisi dan norma yang umum dikenal dengan istilah budaya yang tentunya masyarakat tak dapat lepas dari hal tersebut. Seorang anak mempelajari suatu kebudayaan dan tradisi dengan tumbuh di masyarakat tertentu yang disebut dengan proses enkulturasi. Tradisi budaya mencakup hal-hal seperti kebiasaan dan pendapat yang dikembangkan dari generasi ke generasi, serta perilaku yang dianggap pantas dan tidak.

Dalam hal ini, antropologi mempelajari manusia di seluruh dunia dan lintas waktu. Dapat dikatakan bahwa antropologi merupakan ilmu yang luas dan penelitian terhadap antropologi dapat selalu bisa dilakukan selama terdapat manusia tanpa terbatas pada aspek tertentu. Dengan mengetahui bahwa antropologi menyelidiki berbagai hal yang berkaitan dengan manusia, tentunya antropologi juga menyingkap hal-hal yang bersifat tangible dalam penelitiannya yang salah satunya yakni sastra. Sastra merupakan hasil pemikiran manusia melalui berbagai pemikiran dan proses yang bersifat kreatif. Dalam kaitannya dengan antropologi, antropologi sastra dapat dikatakan sebagai analisis terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi (Ratna, 2011:6). Antropologi sastra kemudian berkontribusi pada pemahaman tentang peran sosial dan potensi sastra. Hal tersebut dibangun atas sebuah gagasan bahwa kekuatan kreatif dapat bersinggungan dan mendisrupsi kehidupan sosial dan realitas dengan cara yang disengaja dan tidak disengaja. Kreativitas yang dimainkan dalam cerita dan sastra memiliki kapasitas universal untuk mewujudkan dan berpartisipasi dalam transformasi realitas.

Puisi Percintaan Pawang merupakan salah satu karya sastra yang membawa pada realita sosial, kebenaran, dan penggambaran akan budaya yang terinternalisasikan pada masyarakat adat tertentu, yang dalam hal ini merupakan masyarakat adat Bali. Puisi karya Oka Rusmini ini merupakan salah satu puisi yang ditulis dalam buku puisinya berjudul Patiwangi. Buku puisi tersebut banyak membahas mengenai realitas budaya dalam adat Bali yang mengungkung perempuan di dalam patriarki. Salah satu kungkungan adat Bali yang membatasi perempuan yakni di dalam perkawinan. Budaya patriarki yang kental membuat perempuan berada di posisi di bawah laki-laki (subordinat) baik dalam urusan publik maupun domestik. Perempuan Hindu-Bali dalam melakukan pemilihan pasangan memiliki keterbatasan, keterbatasan terutama terjadi pada perempuan dari kalangan triwangsa (kasta Waisya, Ksatria, dan Brahmana). Perempuan Hindu-Bali yang berasal dari kasta triwangsa akan menghindari perkawinan nyerod, perkawinan nyerod adalah perkawinan perempuan yang memiliki kasta lebih tinggi akan hilang kastanya karena menikah dengan laki-laki yang kastanya lebih rendah. Perkawinan beda kasta atau yang dikenal dengan istilah nyerod ini akan mendapatkan sanksi yang kejam pada zaman kerajaan (Karepun,2007). Hal itulah yang diangkat oleh Oka dalam puisinya yang berjudul Percintaan Pawang. Realitas budaya adat Bali di dalam perkawinan digambarkan dalam puisi tersebut seperti di bawah ini.

Percintaan Pawang


Percintaan kecil ini
Memerlukan silsilah peradaban
Setiap kata yang kupinang
Memiliki rahasia kebesaran
Bumi mungkin menambah awaknya
Dilukai warna bungaku
Percintaan kecil ini
Harus aku pulangkan pagi-pagi
Sebelum matahari membunuhnya

Dalam puisi tersebut, Oka menjelaskan bahwa dalam perkawinan adat Bali, sistem kasta menjadi patokan yang sangat penting dalam memilih pasangan. Sistem kasta di Bali mulai kental saat era kolonialisme Belanda agar para penjajah dapat leluasa memisahkan rakyat dan raja. Sistem kasta memengaruhi tak hanya dalam perkawinan, tetapi dalam urusan pendidikan, penggunaan bahasa, upacara adat, serta persembahyangan. Dalam adat Bali, pernikahan antara perempuan triwangsa dengan laki-laki dengan kasta di bawahnya disebut dengan nyerod. Perbedaan kasta tersebut menjadi penghalang bagi perempuan dalam menjalin kasih yang berlanjut pada perkawinan, dan hanya perempuan triwangsa yang mengalami hal ini, tidak dengan laki-laki triwangsa yang bebas menikahi perempuan berkasta di bawahnya. Hal tersebut tergambar pada penggalan di bawah:

Percintaan kecil ini
Memerlukan silsilah peradaban

Pada penggalan di bawah, dalam perkawinan nyerod sangat sulit dan hampir mustahil untuk dilakukan. Jika calon pengantin bersikeras untuk melakukan nyerod dan melangsungkan proses peminangan, sudah pasti perkawinannya akan batal karena tidak direstui keluarga perempuan. Satu-satunya cara yang dapat dilakukandengan melakukan kawin lari.

Setiap kata yang kupinang
Memiliki rahasia kebesaran
Bumi mungkin menambah awaknya
Dilukai warna bungaku

Perkawinan nyerod pada saat masa feodal Bali berjaya sangat dilarang dan akan mendapatkan hukuman yang berat bagi yang melakukannya. Hukuman yang dijatuhkan pada saat itu berupa kalebok (hukuman mati dengan cara menenggelamkan hidup-hidup ke dalam laut), selong (diusir ke luar Bali), atau diusir dari wilayah kerajaan. Hal tersebut yang menjadikan perkawinan nyerod mustahil untuk dilakukan oleh para perempuan triwangsa. Tetapi, pernikahan nyerod secara hukum dapat dilakukan sejak tahun 1951, dengan ditetapkannya Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 (tanggal 12 Juli 1951), yang berisi antara lain mencabut peswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan Lombok tanggal 13 April 1927 No. 532 mengenai Asu Pundung (perkawinan perempuan Brahmana dengan laki-laki jaba wangsa) dan Anglangkahi Karang Hulu (perkawinan perempuan Ksatria dan m Waisya dengan laki-laki jaba wangsa). Penetapan aturan tersebut membuat hukuman terhadap pelaku perkawinan nyerod tidak dihukum secara adat, tetapi anak muda Bali tidak mempertimbangkan perkawinan nyerod sebagai pilihan pertama dengan memperhatikan anggapan masyarakat yang masih bersisa dan beban moral yang akan ditanggung atau dengan kata lain, perkawinan nyerod bukannya tidak dilarang, tetapi tidak dianjurkan. Hal tersebut terjadi karena pergeseran pandangan krama desa pasca penetapan hukum seperti timbul rasa tidak disenangi dalam sementara waktu. Hal tersenut tergambar pada penggalan puisi di bawah ini.

Percintaan kecil ini
Harus aku pulangkan pagi-pagi
Sebelum matahari membunuhnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun