Mohon tunggu...
Itsnaini CK
Itsnaini CK Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anisa

22 Januari 2012   02:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu Anisa dengan langkah tergesa-gesa berjalan menuju masjid kampus. Jilbabnya yang hanya sebatas dada melambai-lambai tertiup angin.

“Ada apa mbak Sella menyuruhku ke masjid ?” batin Anisa sepanjang jalan.

Dari kejauhan terlihat wanita muda tengah menunggu di tangga masjid. Mbak Sella. Begitu biasanya Anisa memanggil namanya. Seniornya di kampus. Sella lah yang membantu Anisa mendalami agama beberapa bulan lalu hingga akhirnya Anisa memutuskan untuk mengenakan jilbab.

“Assalamu’alaikum Anisa” sapa Sella ketika Anisa telah berdiri di depannya.

“Wa’alaikum salam mbak” jawab Anisa, kemudian duduk di samping Sella.

“Ada apa mbak?”

“Ini” ujar Sella sambil menyerahkan kaset VCD kepada Anisa.

“Itu mbak copy dari internet. Keadaan terakhir di Palestina. Anisa harus menontonnya” ujar Sella.
“Insya Allah mbak”

***

Jakarta macet panjang. Di dalam taksi Anisa mendengus kesal.

“di depan ada apa ya bang?” tanya Anisa.

“Biasa mbak, para guru minta dinaikkan gajinya” ujar sopir taksi

“Ooo…”

Setelah hampir setengah jam macet, akhirnya lalu lintas kembali lancar. Setiba di kamar kos, Anisa langsung merebahkan tubuhnya. Kemudian teringat olehnya tentang kaset yang diberikan Sella siang tadi. Anisa keluar mendekati kulkas yang ada di dekat pintu kamarnya. Dia mengambil sebotol coca-cola. Setelah menutup pintu, Anisa segera memutar kaset VCD itu.
Satu menit, dua menit, tiga menit, setengah jam pun berlalu. Tissue satu bungkus yang baru dibelinya pagi tadi habis digunakan untuk mengelap air matanya. Begitu perih tragedi yang terjadi di Gaza, Palestina. Tergambar jelas kekejaman zionis israel, bagaimana nyawa bayi-bayi yang tak berdosa, anak-anak kecil yang seharusnya bisa bermain dengan riang, orang-orang lanjut usia mereka bantai. Belum lagi para pejuang yang mereka buru. Dalam hati Anisa menyumpahi orang-orang israel panjang lebar.

***

Usai mengisi perut di KFC, Anisa segera menuju kampus. “Masih ada waktu setengah jam untuk ketemu mbak Sella” batin Anisa. Dia pun berjalan menuju masjid, tempat dimana para jilbaber berkumpul.

Dari kejauhan Anisa melihat Sella sedang berbicara serius dengan para jilbaber lainnya. Ada rasa segan mendekat, namun Anisa pun penasaran dengan apa yang sedang didiskusikan oleh para seniornya itu. Anisa pun akhirnya mendekat.

“Assalamualaikum” ucap Anisa.

“Waalaikumsalam warohmatullah” jawab jilbaber itu dengan kompak sambil menoleh ke sumber suara.

“Ooo… dek Anisa. Ayo sini gabung” ajak Sella.

“Lagi bicarain masalah apaan sih mbak ?” tanya Anisa.

“Ini lho dek. israel kan kembali menyerang Gaza, jadi kami ingin melakukan kegiatan seperti baksos untuk membantu rakyat Gaza” ujar Dewi menjelaskan.

“Anisa mau ikut?” tawar Sella.

“Kegiatannya seperti apa mbak?”

“Ya bisa turun-turun ke jalan atau melakukan bazar dan untungnya langsung kita sumbangkan” jelas Sella.

“Wah, kalau bazar Anisa mau ikut mbak, tapi kalau turun ke jalan minta sumbangan Anisa minta maaf, Anisa nggak bisa”

“Iya nggak papa. Anisa ikut perduli saja kami sudah cukup senang” ujar Dewi.

“Baik-baik banget orang-orang ini” batin Anisa.

Akhirnya Anisa pun membantu rombongan jilbaber itu mengadakan bazar.

“Keuntungannya lumayan banyak mbak” ujar Anisa saat bazar pakaian Islami yang mereka adakan selesai.

“Alhamdulillah, Nis. Semoga bisa bermanfaat meskipun sedikit” ujar Sella.

“Memangnya tidak ada ketegasan dari PBB dalam menangani kasus ini?”

“PBB kan pusatnya di Amerika, Nis. Sementara israel sendiri bersekutu dengan Amerika” jelas Sella. “Dan salah satu cara untuk membantu Palestina juga bisa dengan memboikot produk-produk israel”

“Memboikot mbak?” tanya Anisa sedikit terkejut.

“Ya, dengan memboikot produk-produk Amerika-israel, karena secara tidak langsung jika kita menggunakan produk-produk mereka, maka kita juga turut andil dalam membunuh rakyat Palestina. Karena keuntungan dari produk-produk itu digunakan israel untuk membiayai pembantaian yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina”.

“Dr. Yusuf Qordhowi, ketua Persatuan Ulama Internasional, ulama Mesir yang tinggal di Qatar itu pernah memfatwakan untuk memboikot segala bentuk produk Amerika dan israel, karena satu rial, atau satu dollar yang kita gunakan untuk membeli produk Amerika dan israel, sama dengan satu perluru yang akan merobek tubuh saudara kita di Gaza, gitu Nis” jelas Sella.

“Seperti apaproduk-produk mereka?”

“Seperti Coca-cola dan KFC yang ada di seberang kampus kita itu.” jawab Sella.

Anisa langsung menutup mulut. Kali ini dia benar-benar terkejut.

“Coca-cola, KFC, Coco-cola, KFC” Kata-kata itu berputar-putar di dalam otaknya.
“Kamu kenapa Nis, kok pucat gitu?” tanya Sella.

Nggak papa, mbak. Mungkin kecapekan” jawab Anisa.

“Kalau capek istirahat saja. Biar mbak yang memberesi semuanya” ujar Sella.

“Tanggung mbak, sedikit lagi. Oya mbak, gimana kalau kita tetap menggunakan produk-produk yang dihasilkan Amerika dan israel?” tanya Anisa yang masih penasaran.

“Ya kita pikir saja, saat satu peluru Israel meluncur membunuh masyarakat Palestina, ada tidak rupiah kita di sana?”

“Sebisa mungkin Nis, untuk tidak menggunakan produk-produk mereka. Memang sekarang hampir seluruh kebutuhan pokok kita tak terlepas dari produk-produk mereka.” jelas Sella sambil membereskan barang-barang bazar mereka yang masih tersisa.

***

Anisa berjalan gontal keluar gerbang kampus. Penjelasan dari dosen benar-benar membuat otaknya berpikir keras, sehingga tenaganya pun terkuras. Sementara cacing-cacing dari ususnya berdendang ria. Anisa menatap bangunan KFC di depan kampus dengan nanar. Ada rasa ingin melangkahkan kaki ke sana, namun keinginan itu terhalang oleh ucapan Sella seminggu yang lalu.

“Ada tidak rupiah kita disana?” Kata-kata itu seolah menjadi pagar bagi diri Anisa. Akhirnya Anisa melangkahkan kaki kewarung nasi yang tak jauh dari bangunan KFC itu.

“Mau minum apa mbak?” tanya pelayan warung nasi setelah meletakkan pesanan Anisa.

“Coca-cola” ucap Anisa. Namun kata-kata itu hanya menggantung di tenggorokan karena yang keluar dari mulut Anisa berbeda.

“Air putih saja mbak” ujar Anisa sambil tersenyum.

Di dalam hati Anisa berdoa agar diberi keteguhan iman oleh Allah SWT.

***

Tiga tahun sudah berlalu.

Dengan langkah pasti Anisa memasuki Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

“Pikirkan lagi niatmu, Nis” ujar mama yang mengantar Anisa.

“Sudah Anisa pikirkan, Ma. Maafkan Anisa. Mama doakan saja Anisa kembali dengan selamat” ujar Anisa sambil memeluk mamanya.

“Ridoi Anisa, Ma”

“Doa mama selalu untukmu, nak” ujar mamanya.

“Jaga diri baik-baik, Nis” pesan Dimas, kakaknya yang juga ikut mengantar. Anisa mengangguk.

Dengan basmalah Anisa melangkahkan kaki memasuki pesawat yang akan mengantarnya ke bumi Allah, Gaza.

“Aku datang untukmu Gaza” batin Anisa.

Sejak sebulan lalu Anisa sudah memikirkan baik-baik bahwa dia ingin menjadi relawan membantu masyarakat Gaza di rumah sakit darurat yang masih bisa digunakan di sana. Meski awalnya mama dan kakaknya memberatkan, akhirnya Anisa dibolehkan juga pergi.
Sementara Sella sudah lebih dahulu menjadi relawan di sana.

Hari itu dunia kembali digemparkan oleh ulah Israel. Asap hitam memayungi bumi jihad Gaza. Sebuah bom dijatuhkan dari pesawat tempur israel tepat di atas pemukiman warga sipil Gaza, setelah beberapa hari yang lalu sebelum keberangkatan Anisa, israel melakukan hal yang sama.

Media masa mencatat sedikitnya seratus jiwa meninggal dunia dalam insiden itu. Salah satunya adalah dokter muda, relawan dari dari Indonesia, dr. Anisa Zakiyah.

Di hari yang sama, hujan tak henti mengguyur kota Jakarta. Langit seolah-olah menangisi kepergian para mujahid-mujahidah di bumi Allah, Gaza.

“Ma, Anisa telah menyusul Papa” ujar Dimas lirih usai menyimak berita di televisi yang memberitakan kondisi terakhir di Gaza.

Mama terkejut. Seketika dunia menjadi gelap bagi mama.

“Mama…!!!” panggil Dimas sambil memegangi mamanya yang pingsan.

***

NB. Tulisan ini dibuat saat masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Furqon, Prabumulih, Sumatera Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun