Mohon tunggu...
Wanto
Wanto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Membaca, berfikir, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sabung Ayam Bali Dalam Pespektif Antropologi Budaya

20 Oktober 2023   19:57 Diperbarui: 20 Oktober 2023   20:01 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabung ayam Bali merupakan sebuah praktik kultural yang kaya akan makna dan simbolisme. Clifford Geertz dengan pendekatannya yang sangat interpretatif menunjukkan kompleksitas dan kerumitan serta bagaimana tradisi ini mempengaruhi sekaligus mencerminkan aspek-aspek sosial, agama, dan simbolisnya. Menurutnya sabung ayam dalam kehidupan masyarakat Bali telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka ("The Balinese Way of Life"), terutama dalam dimensi kaum pria dengan "ayam jantang" yang tidak dapat dipisahkan. Sabung ayam Bali dapat dikatakan sebagai sebuah cerminan tantang penampilan, kegunaan, kekuasaan dan ketertarikan masyarakat sehingga hal ini terdapat pada hampir setiap level maupun tingkatan kehidupan masyarakat Bali.

Uniknya, bukan sabung ayam maupun taruhan dalam bentuk uang dan kerumunan yang membuatnya menjadi begitu unik dan menarik. Melaingkan, apa akibat yang muncul, yakni adanya perpindahan status masyarakat Bali pada tubuh atau bagian dari sabung ayam itu sendiri. Maka, dapat dikatakan bahwa ayam-ayam tersebut merupakan perwujudan dari kepribadian pemiliknya, tetapi sabung ayam itu sendiri adalah simulasi dari matrix sosial, sistem sosial, kelompok-kelompok kerjasama, dan kasta yang membuat praktik sabung ayam  menjadi begitu kompleks.

Beberapa pihak tertentu bisa saja beranggapan bahwa sabung ayam merupakan sebuah tradisi yang bertentangan atau berlawanan dengan nilai-nilai puritanisme atau kesucian. Dalam hal ini, Greetz mendeskripsikan dengan sangat baik tentang pengalamannya mengenai ketegangan antara para polisi dan pelaku sabung ayam yang seakan-akan mengejek nilai-nilai puritasme itu sendiri karena pemahaman yang dangkal terhadap praktik tersebut. Sehingga Geertz menekankan pentingnya memahami sepenuhnya tradisi ini dengan melihat atau menggali lebih dalam dan mempertimbangkan konteks budaya Bali.

Sebab, secara historis tradisi sabung ayam ini merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat Bali. Dimana "ayam jantang" bukan hanya sekedar hewan biasa dalam konteks sabung ayam karena mereka merupakan ekspresi simbolik atau representasi dari pemiliknya yang mencerminkan harga diri dan kebanggaan individu. Selain itu, bagaimana cara mereka merawat dan memperlakukan ayam-ayam tersebut juga mencerminkan hubungan antara manusia dan hewan dalam budaya masyarakat Bali. Selain itu. sebagai orang awam kita mungkin akan memandangnya sebagai pertarungan antar hewan, tetapi bagi masyarakat setempat ayam yang sedang bertarung adalah manusianya atau diri mereka sendiri.

Jika dilihat dalam konteks agama, tradisi sabung ayam masyarakat Bali tidak bisa serta-merta ditarik ke dalam rana yang universal, misalnya seperti larangan-larangan dalam agama-agama modern yang seringkali mengidentikan sabung ayam dengan judi. Benar bahwa tampaknya seakan-akan demikian, tetapi persoalannya adalah sabung ayam Bali merupakan bagian dari budaya yang memiliki nilai historis sehingga rasanya bias bila disamakan dengan sabung ayam pada umumnya. Sehingga penting untuk melihat konteksnya karena dengan begitu kita dapat memahami suatu tradisi secara cermat. Sebab, seringkali kita terjebak dalam suatu fanatisme ideologis yang sudah tertanam dalam alam pikiran sehingga kemampuan untuk menilai suatu fenomena secara objektif seringkali menjadi terhambat karenanya.

Terlepas dari pro dan kontra yang timbul dari berbagai kalangan mengenai gambaran dari sabung ayam, khususnya dalam kehidupan masyarakat Bali tidak dapat direduksi hanya pada satu spektrum atau sudut padang tertentu. Sehingga tradisi semacam ini harus dilihat dari perspektif para pelaku atau masyarakatnya, baik dalam dimensi historisitas, sosial, makna, manfaat, kegunaan dan sebagainya. Sebab, seringkali kita terjebak dalam asumsi apriori dan menilai suatu kebudayaan secara dangkal tanpa mempertimbangkan hal-hal yang sudah disebutkan diatas.

Dalam hal ini, Geertz menunjukkan hal tersebut dengan menyatuh sekaligus mengalaminya secara langsung sehingga ia mendapatkan pemahaman yang lebih konfrehensif melalui "Thick description"nya. Dengan demikian, Geertz menggali jauh lebih dalam dan mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat didalamnya dengan sangat rinci. Sebab, kebudayaan suatu masyarakat merupakan teks yang mereka ciptakan sendiri. Dimana pada akhirnya disadari atau tidak menjadi perwujudan dari apa yang mereka pahami dan kerjakan selama ini serta telah menjadi bagian dari pola hidup masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun