Mohon tunggu...
henny widhiarti
henny widhiarti Mohon Tunggu... Lainnya - a mother, wife, daughter, student studying in psychology

random person an alpha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perspektif Michel Foucault dalam Kontruksi Nasionalisme Indonesia

11 Januari 2024   08:34 Diperbarui: 11 Januari 2024   09:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di dalam kasus Indonesia, problem yang dihadapi di dalam membangun nasionalisme yang kuat antara lain diakibatkan oleh kuatnya pengaruh yang ditinggalkan oleh rezim kolonialis di masa lalu. 

Kekhawatiran akan terpecah-pecahnya bangsa menjadi negara-negara kecil yang potensial untuk diadu domba, telah menyebabkan penekanan yang berlebihan pada satu bentuk tata kenegaraan yang sentralistik, sebagaimana tampak dalam konsepsi Soekarno dengan gagasan‘geopolitik’-nya, atau visi ‘negara integralistik’-nya Soepomo di era kemerdekaan, dan ‘negara yang modern’ dalam perpektif Ali Moertopo, ‘negara kekeluargaan’ versi Abdul Kadir Besar, dan ‘negara yang demokratis dan konstitusional’ dalam versi Soeharto di era Orde Baru. Jejak-jejak kolonialisme ini tidak hilang begitu saja, dalam rezim-rezim di Indonesia. 

Selain ‘warisan’ berupa wilayah-geografis, ada hal-hal lain yang merupakan warisan kolonial yang kemudian disimpan bahkan dilestarikan oleh sebuah rezim untuk kepentingan tertentu; seperti ‘bahaya’ komunisme, ‘bahaya’ perpecahan, ‘bahaya’ ekstrimisme, dan lain-lain. Warisan ‘penting lain adalah adanya misi pemerintah untuk ‘membebaskan’, ‘memoderenkan’, dan juga ‘memajukan’ masyarakat, yang dipandang masih ‘tradisional’, ‘terbelakang’, dan lain-lain. Tetapi sebenarnya dengan melakukan itu semua, sebuah rezim sedang melakukan misi kekuasaan yang maknanya belum tentu sama seperti yang secara umum dipahami.

Dalam perspektif teori ‘kekuasaan-pengetahuan’ (power/knowledge) Michel Foucault, apa yang dilakukan para pemimpin pemerintahan tersebut adalah memproduksi pengetahuan untuk mempertahankan kekuasaan, namun sekaligus juga mendayagunakan kekuasaan untuk memproduksi pengetahuan. 

Dalam bahasa Foucault: “Tidak mungkin ada pelaksanaan kekuasaan tanpa wacana kebenaran yang beroperasi melalui dan di dasar asosiasi ini. Kita menjadi sasaran produksi kebenaran melalui produksi kekuasaan dan kita tidak mampu menjalankan kekuasaan kecuali melalui produksi kebenaran. ini merupakan kasus yang ada dalam setiap masyarakat, namun saya percaya bahwa dalam masyarakat kita hubungan antara kekuasaan, hak, dan kebenaran diatur dalam bentuk yang lebih spesifik. 

Jika saya ingin mencirikannya, bukan mekanisme, melainkan intensitas dan ketetapannya, kalau boleh saya katakan bahwa kita dipaksa memproduksi kebenaran dari suatu kekuasaan sebagaimana diminta masyarakat agar dapat berfungsi: kita harus berbicara tentang kebenaran, kita dipaksa atau dikutuk untuk mengakui atau menemukan kebenaran”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun