Saling tuding dan saling menilai yang lain mungkin sudah membudaya di Indonesia, apalagi di jagat sosial media: sangat beringas! Jika ada seseorang yang memiliki pemahaman berbeda, bukannya mengklarifikasi, menanyai, atau menghormati, yang ada justru main tuding, mencaci-maki, dan parahnya hingga mendiskriminasi. Meski tidak semua orang Indonesia begitu, namun tidak sedikit pula yang melakukan hal tersebut. Apa penyebabnya? Adanya klaim terhadap kebenaran; menyepakati hingga memfinalkan sebuah interpretasi; serta kepongahan kita, jika telah merasa sebagai mayoritas.
Bayangkan jika Derrida hidup saat ini di Indonesia. Pasti beliau akan mengguncangkan klaim-klaim tersebut, atau bahkan mayoritas akan menudingnya juga atas nama "klaim" kebenaran yang telah terlanjur mapan. Padahal jika kita menilik lagi, konsep dekonstruksi ini bisa menjadi alternatif lain agar konflik yang berawal dari rasa saling tuding dan menunda rasa "paling" memiliki kebenaran untuk waktu yang tak terbatas, atau lebih radikal lagi bahwa tak ada yang namanya kebenaran itu. Sepertinya konsep Dekonstruksi dari Derrida ini akan selalu relevan pada hari ini dan lusa nanti.
Dekonstruksi merupakan suatu bentuk penghalauan sekaligus penolakan terhadap filsafat barat yang saat itu memiliki pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran ini menjadi embrio bagi lahirnya logosentrisme. Oposisi biner menjadi akibat dari kecenderungan logosentrisme yang menaruh kepercayaan penuh terhadap akal atau rasio. Oposisi biner ini dapat teraplikasikan pada suatu hal yang saling beroposisi atau berlawanan, seperti: laki-laki -- perempuan, pandai -- bodoh, siang -- malam, tinggi -- rendah, dll.
Adanya oposisi biner tersebut memiliki konsekuensi yang bisa berakibat fatal dan brutal. Pasalnya dari dua kutub yang saling berlawanan tersebut, pada akhirnya mengimplikasikan ada sesuatu yang superior dan yang inferior. Mendominasi dan didominasi. Fatalnya, hal tersebut juga mengamini adanya penindasan dan penjajahan. Misalnya, dalam kultur kita masih menganggap bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan, akhirnya laki-laki dengan mudah mendominasi dan mengintervensi perempuan. Dalam hal ini, jelas laki-laki mendominasi perempuan. Begitulah konsep filsafat barat---termasuk di dalamnya kaum strukturalis---yang memandang sebuah teks sedemikian rupa.
Karena keresahan tersebut, Derrida hadir menawarkan konsep dekonstruksinya. Lalu, apakah dekonstruksi adalah usaha untuk membalik tatanan oposisi biner, seperti laki-laki yang mendominasi perempuan, menjadi perempuan yang mendominasi laki-laki? Tentu tidak. Dekonstruksi hadir untuk menjunjung keterbukaan, keragaman, kesetaraan, dan menghormati segenap perbedaan.
Proyek teori dekonstruksi Derrida ini berfokus pada kemapanan dan kefinalan sebuah interpretasi terhadap teks. Langkah awal dalam mendekonstruksi teks tentu meneliti teks tersebut secara serius, sehingga dapat mengetahui apa yang maksud dari teks tersebut. Jika hal tersebut sudah beres, langkah selanjutnya adalah mengembangkan aspek-aspek kontradiktif agar menemukan sebuah pemahaman baru. Dari kontradiksi-kontradiksi tersebut, meski sekecil apapun, akan selalu melahirkan kemungkinan baru, yang mungkin sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.
Setiap teks selalu berpotensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat terbaca dan terpahami dengan cara berbeda. Oleh karena itu tak boleh ada tafsir atau interpretasi yang bersifat otoritatif, bahkan memutlakkannya. Karena jika sesuatu itu menjadi otoritatif dan mutlak, otomatis klaim kebenaran akan selalu bersandar padanya. Klaim kebenaran tersebut yang selalu menjadi senjata untuk menyerang liyan yang berbeda penafsirannya terhadap teks tersebut. Dengan demikian, potensi memaknai teks dengan konteks yang berbeda selalu secara terus-menerus dan penetapan makna tak dapat bersandar pada satu kebenaran.
Untuk memahami Derrida, kiranya perlu kita memahami konsep difference. Kata difference itu terdiri dari dua kata, yaitu: membedakan (to differ) dan untuk menunda kepastian (to defer). Maksudnya adalah kebenaran dan makna dalam sebuah teks harus terus dibedakan serta ditangguhkan kepastiannya. Nah, jika kebenaran dan makna teks harus selalu dibedakan serta ditunda, apakah kebenaran itu ada? Pada dasarnya, jika mengacu pada dekonstruksi Derrida, maka kebenaran tak akan ada. Penerapan Dekonstruksi Derrida ini bisa saja dengan radikal, hanya saja konsekuensinya tentu mengarahkan seseorang pada arah kenihilan. Tapi pada tataran tertentu, penerapan dekonstruksi ini sangat baik, di kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H