Mohon tunggu...
Amanda Salma Azzahra
Amanda Salma Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Padjadjaran

Mahasiswi program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Catcalling sebagai Candaan atau Pelecehan Seksual Verbal

23 Juni 2024   10:32 Diperbarui: 23 Juni 2024   10:32 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan seksual secara umum adalah suatu perbuatan yang merendahkan, melecehkan, dan menyerang tubuh seseorang, sehingga perbuatan ini bisa meninggalkan trauma yang mendalam pada korban, dan korban dari kekerasan seksual didominasi oleh perempuan. 

Komnas perempuan mengklasifikasikan tindak kekerasan seksual menjadi 15 jenis yang meliputi pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan manusia dengan tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan dengan tujuan seksual, perkawinan secara paksa, pemaksaan kehamilan, aborsi secara paksa, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, hukuman yang tidak berperikemanusiaan dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan dan kontrol seksual. 

Dari daftar kekerasan seksual di atas bukanlah data yang sudah pasti, karena mungkin masih ada jenis kekerasan seksual yang masih belum dikenali karena terbatasnya informasi.

Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2023, pada tahun 2022 pengaduan kepada Komnas Perempuan mengalami peningkatan menjadi 4.371 dari 4.311 kasus yang artinya Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus/hari. Kekerasan di ranah personal masih menjadi kasus dengan pengaduan tertinggi pada pelaporan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yakni 99% atau 336,804 kasus. Sepanjang tahun 2022. Data pengaduan yang diperoleh Komnas Perempuan menunjukan bahwa kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan diranah publik terdapat 2.228 kasus/38,21% dan diranah personal didominasi kekerasan psikis yaitu 2.083 kasus/35,72%.

Korban dari kekerasan seksual terutama perempuan masih dianggap tabu oleh masyarakat. Jangankan masyarakat, terkadang lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan juga merupakan lingkungan terdekat dari korban malah menyudutkan korban apalagi jika korban mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) sehingga korban sulit untuk melapor, kalaupun korban ingin melapor terkadang dilaporkan balik oleh pelaku karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. 

Hal ini merupakan dampak dari pemikiran masyarakat yang memiliki pemikiran patriarki yang menempatkan posisi perempuan ada dibawah laki -- laki. . Secara biologis, sistem patriarki ini mengharuskan bahwa laki - laki untuk bersikap berwibawa, macho, pencari nafkah, kuat,  dll. 

Sedangkan perempuan harus selalu bersikap lemah lembut, sabar, penyayang, pandai mengurus rumah tangga, pandai memasak, pandai mengurus anak dst. Tetapi, dari sekian banyaknya jenis kekerasan seksual pernahkah terbesit dipikiran kalian bahwa Catcalling itu termasuk tindakan pelecehan seksual atau hanya sebuah candaan saja?.

Street Harassment masih menjadi hal yang asing ditelinga masyarakat Indonesia, secara bahasa Street Harassement adalah "Pelecehan jalanan" atau bisa diartikan sebagai pelecehan seksual diranah publik. Street Harassment bisa terjadi jika terdapat interaksi antara dua pihak atau lebih yang tidak saling mengenal namun mengakibatkan salah satu pihak tidak nyaman, marah, ataupun malu. 

Kebanyakan korban dari Street Harassment yaitu perempuan dan sesuai namanya kasus ini sering terjadi diranah publik seperti dijalanan. Menurut Logan, Street Harassment adalah serangkaian praktek dengan tindakan seperti catcalling, menatap secara berkepanjangan, meraba secara sengaja, mengikuti seseorang, dan berkomentar secara verbal. 

Memanggil dengan panggilan "sayang","cantik, mau aa temenin ga?","cantik boleh minta nomor hp nya ga?" kepada orang asing termasuk kepada kategori catcalling verbal, jika pelaku menguntit atau melakukan sentuhan secara sengaja itu termasuk ke catcalling nonverbal karena bentuk dari catcalling verbal yaitu menggunakan gestur fisik. 

Biasanya catcalling diawali dengan pelaku mengamati tubuh korban terlebih dahulu lalu lalu menyaut dengan panggilan -- panggilan sehingga korban merasa tidak nyaman. Biasanya, pelaku yang melakukan catcalling hanya ingin mendapatkan perhatian dan berharap bahwa korban akan merespon. 

Tindakan catcalling ini seringkali disepelekan bahkan dinormalisasi padahal tindakan tersebut bisa saja menjadi penderitaan yang besar bagi korban. Pelaku dari catcalling biasanya hanya menganggap hal tersebut sebagai candaan saja dan tak perlu dianggap serius sehingga tidak termasuk ke pelecehan, padahal catcalling bisa saja memicu trauma psikologis terhadap korban bahkan ada saja yang menyalahkan korban dengan menilai korban "baperan" sehingga membuat korban merasa bersalah.

Sebagian besar dari korban catcalling seringkali merasa takut hingga trauma dalam waktu yang cukup lama, bahkan terkadang korban tidak tahu siapa yang melakukan tindakan catcalling terhadap mereka dan tujuan dari tindakan tersebut. Catcalling dapat terjadi pada waktu yang tidak pasti, baik itu dipagi hari hingga malam hari, dan biasanya pelaku dari catcalling ialah segerombolan laki -- laki. 

Seiring dengan perkembangan zaman yang dimana teknologi pun tentunya semakin maju membuat semua orang mudah untuk mengakses media sosial sehingga catcalling selain tidak memandang waktu baik pagi, siang dan malam juga tidak memandang sosial media ataupun kehidupan nyata dan catcalling yang sering terjadi di media sosial yaitu komentar -- komentar yang bernuansa seksual. 

Catcalling pun tidak memandang laki -- laki atau perempuan, dimedia sosial pun jarang terdapat informasi mengenai catcalling yang dialami oleh laki -- laki dibanding perempuan. Perbedaannya yaitu jika korban dari catcalling nya adalah perempuan dan pelakunya laki -- laki maka sebaliknya korban nya yang laki -- laki maka pelakunya yang perempuan. 

Lalu mengapa informasi mengenai catcalling yang korban nya laki -- laki informasinya hanya sedikit dibanding perempuan? Patriarki menjadi salah satu jawaban. Karena dengan adanya pemikiran patriarki yang membuat korban merasa takut akan dianggap lemah oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan sistem patriarki yang menilai bahwa laki - laki sebagai sosok yang berwibawa, macho dan kuat.

Anxiety/Uncertainty Management Theory (AUM) atau bisa disebut dengan teori kecemasan dan ketidakpastian ialah perkembangan dari Uncertainty Reduction Theory (URT) oleh Gudykunst tahun 1985. 

Teori AUM ini menggambarkan seseorang dari budaya baru bertemu  dengan yang lain lalu terdapat kecemasan (anxiety) serta ketidakpastian (uncertainty), level untuk kecemasan yaitu level afektif sedangkan level untuk ketidakpastian ialah kognitif. Teori ini berpendapat bahwa ada penyebab dasar serta dangkal terhadap komnikasi yang efektif.  

Teori AUM ini menyatakan bahwa terdapat alasan mendasar dan pangkal untuk berkomunikasi secara efektif. Gudykunst berpendapat bahwa rasa cemas (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty) ialah penyebab dasar sedangkan penyebab dangkal adalah konsep diri, motivasi untuk berinteraksi dengan orang lain, reaksi terhadap individu lain, kategori sosial orang asing, protes situasi, serta hubungan dengan individu lain.

Catcalling bisa terjadi tanpa memandang waktu maka dari itu tidak ada salahnya untuk membekali diri dengan pengetahuan agar dapat mengatur diri jika terjadi catcalling. Cara mengurangi kecemasan ketika terjadi catcalling bisa menggunakan konsep -- konsep dasar pada AUM yaitu self-concept (konsep diri). 

Self-concept merupakan keyakinan dan perasaan terhadap diri sendiri dan dapat bersifat secara psikologis, sosial maupun fisik. Dengan memahami konsep ini maka akan meningkatkan harga diri kita karena self-concept ini membuat kita berpikir bagaimana kita harus menanggapi diri kita sendiri. Tentunya rasa takut, cemas serta tidak nyaman akan timbul ketika terjadi catcalling, namun dengan perasaan tersebutlah akan timbul motivasi untuk melawan dan juga perlu didasari oleh pengetahuan yang cukup terhadap ancaman pelecehan seksual secara verbal.

Menurut penulis, sudah seharusnya kita tidak menormalkan atau mewajarkan hal tidak seharsunya begitu salah satunya adalah catcalling karena setiap manusia pantas untuk mendapatkan rasa aman seperti pada pasal 30 Undang -- Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi "setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu". Menurut pembaca, catcalling hanya sebatas candaan saja atau pelecehan seksual verbal?

Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun