Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hidup Bukan Rangkaian Kebetulan

31 Desember 2016   19:00 Diperbarui: 31 Desember 2016   19:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel tebal di bagian sampul belakang ini tertulis kalimat menohok: Aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Secarik petuah yang tak berkesan berkhotbah ini menjadi inti novel yang berkover gambar sepatu untuk selalu mensyukuri hidup. Sepatu, barang yang dijanjikan sang ayah selepas melaut sebagai hadiah ulang tahun, merupakan titik di mana tokoh utama, Sri Ningsih, memulai fase perjuangan hidup yang teramat keras di usia belia.

Cuaca muram, pelaut andal Pulau Bungin itu, bernasib nahas. Kapalnya terjebak badai dan karam. Sri Ningsih menyandang yatim-piatu setelah ibunya mangkat kala melahirkannya. Sedangkan ibu tirinya terus-menerus menimpakan kesalahan dan sumpah serapah kepada anak yang berbadan gempal, hitam, dan pendek itu. Satu-satunya teman setia Sri adalah adik tirinya, Talimuta. Dalam pengisahan episode ini, Tere Liye memaksa pembaca menguras air mata. Di usia sebelia itu, Sri harus mencari kerang dan teripang untuk dijual dan dimakan keluarga.

Sedari awal kisah, Tere Liye mengandaikan posisi Sri yang selalu terjepit dan pahit. Hidup penuh kesialan. Tapi, sedari awal, Tere Liye juga membuat perimbangan. Sri Ningsih, hati, laku, dan ucapnya bak mutiara. Ia terus menerus menjadi pribadi yang penyabar sekaligus pemaaf. Ia bahkan mempertaruhkan nyawa mencoba menyelamatkan ibu tirinya yang terjebak kebakaran hebat. Dan, Sri, yang semenjak kecil memiliki kecakapan serta budi luhur ini, memutuskan meninggalkan pulau kecil di Sumbawa itu; pulau yang di dalamnya hewan ternak terbiasa memakan kertas.

Berkisah latar belakang 65, Tere Liye menarasikan Sri Ningsih belajar agama di sebuah pesantren asuhan Kiai Maksum di Surakarta. Di sinilah, Sri berpunya dua sahabat. Menjadi tiga serangkai. Tapi persahabatan selalu memiliki ritme tersendiri. Persahabatan itu pupus. Seorang sahabatnya, Sulastri, menjadi onak. Bersama suaminya –yang seorang eks-pengajar di pesantren itu, akibat dengki dan merasa tersingkirkan dari posisi strategis di struktural pesantren, sekonyong-konyong meluluhlantakkan kealiman dan ketawaduan. Keduanya membenci pesantren dan Kiai Maksum yang dianggap menguasai tanah rakyat kecil. Bersama simpatisan komunis melakukan pemberontakan. Memburu nyawa siapa saja. Termasuk nyawa Talimuta remaja.

Apakah Sri mendendam kepada Sulastri? Sri Ningsih masih mengunjunginya di penjara. Laksana menjulurkan tangan untuk kembali bersama merangkai persahabatan, memutus amarah. Perangai Sri yang sedemikian mulia ini bisa dipahami karena semenjak di pesantren-lah gadis yang bakal menjadi pengusaha besar di Jakarta ini merasa mempunyai sebuah keluarga.

Melepas masa lalu, menyongsong Ibu Kota. Sri meninggalkan pesantren. Untuk usia belasan tahun dan kali pertama menginjakkan kaki di Stasiun Pasar Senen memang terlihat menakutkan. Namun, tangan Tuhan senantiasa mengayomi orang yang semenjak kecil berpunya keikhlasan, kesabaran, dan kebermaafan besar. Awalnya, saya menyebut kepingan narasi Tere Liye pada bab ini sebagai “kebetulan-kebetulan”. Di Jakarta, Sri menempati kontrakan murah dari orang yang kebetulan dikenalnya di kereta api. Pun, saat dia tidak kunjung beroleh pekerjaan, justru di dekat kontrakannya terdapat sekolah di mana kebetulan pimpinannya mengenal Kiai Maksum. Sri Ningsih menjadi guru.

Sebagai anak pelaut tangguh yang sedari kecil terbiasa bekerja keras, membuat Sri tidak terbiasa berdiam dalam zona nyaman. Ia terus bertumbuh dan menantang zaman. Melakukan pelbagai kebaruan hidup. Guru di pagi hari. Pernah menjadi kuli panggul dan penjual nasi goreng di kala malam sampai menjadi karyawan perusahaan. Tere Liye secara mendetail mengisahkan perjuangan keras Sri mencari pekerjaan dan berinovasi. Termasuk ketika secara cerdik Tere Liye mengandaikan Sri sebagai pelopor apa yang disebut sekarang sebagai pedagang kaki lima. Pembaca seakan mengamini bahwa gerobak sebagai sarana berjualan adalah sebagai temuan revolusioner anak pelaut itu di zaman saat Monas sedang dibangun. Sementara kala itu penjaja makanan masih menggunakan pikulan.

Sri, kecakapan dan intuisi bisnis secara perlahan mengantarkannya pada status pebisnis top. Tapi, dinamika hidup juga terus berjalan. Kekelaman masa lalu juga sulit dienyahkan dan bersiap datang kapan saja menghantui. Ia secara tiba-tiba meninggalkan kelesatan perusahaan. Pergi ke Inggris sembari menghilangkan jejak identitas seperti kepergiannya ke Jakarta kala itu layaknya orang papa. Menjadi supir bus di London pun karena pertolongan (baca: kebetulan) petugas administrasi perusahaan otobus dan hidup di apartemen murah berkat sesuatu yang bagi saya karena sebuah peristiwa yang juga kebetulan. Di usia senja, Sri tinggal dan meninggal di panti jompo. Tapi, ternyata ia meninggalkan warisan senilai 19 triliun rupiah. Kepada siapa warisan itu diberikan sementara jejak identitasnya sengaja “dihilangkan” sedemikian rupa.

Pada halaman 491-512, semua paradoks dan keganjilan lakon Sri Ningsih terjawab tuntas. Tokoh Sri Ningsih mengingatkan kita pada tokoh Bujang dalam novel Tere Liye, Pulang:sama-sama dari pelosok daerah untuk kemudian sukses di perantauan. Ada seruan moral yang disesapkan kepada pembaca: untuk selalu ikhlas dan mensyukuri keadaan. Bila konsisten, Tuhan akan menggaransi memberikan pertolongan dengan hal-hal yang sering saya anggap sebagai kebetulan. Padahal, boleh jadi rangkaian kebetulan-kebetulan itu merupakan timbal-balik/ganjaran atas kebaikan yang telah dilakukan. Walhasil, pesan moral seperti ini-lah yang senyatanya lebih mengena lantaran tidak berkesan menggurui karena dibungkus melalui tamsil pengisahan.

Data buku:

Judul: Tentang Kamu

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Republika Penerbit

Cetakan: November 2016

Tebal: 524 Halaman

ISBN: 978-020-622-43-1

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun