Bila Anda datang ke bank berlabel syariah, penyambutan nasabah diawali dengan sang teller berucap assalamu’alaikum. Pembeda lain dari bank konvensional, Anda banyak menemukan istilah perbankan berbahasa Arab. Mengapa harus berbahasa Arab yang tidak sepenuhnya dimengerti bagi kalangan awam?
****
Bahasa menyibakkan tentang identitas suatu bangsa dan peradaban. Bangsa berperadaban besar memproduksi banyak kata (penamaan) untuk mengidentifikasi sejumlah temuan, barang, dan sifat. Tengoklah istilah bidang teknologi. Eropa dan kuasa bahasa Inggris di dalamnya kemudian mencipta daya superioritas yang kemudian diimitasi oleh bangsa lain. Kata: komputer, flashdisk, handphone, televisi, radio, dan terlalu banyak lagi yang dalam pengindonesiaannya biasanya melalui dua cara: mengambilnya secara langsung. Dan, lebih tersering disesuaikan dengan ejaan Indonesia, merujuk kata “komputer”, bukan computer .
Prinsip umum kebahasaan tersebut juga menyasar di bidang ekonomi. Bila bank tumbuh pesat muasalnya dari daratan Eropa sudah barang tentu akan banyak bermunculan dengan sendirinya istilah-istilah perbankan yang diproduksi olehnya sendiri secara mandiri. Memang, kegiatan perekonomian dalam cakupan sederhana macam barter atau jual beli dengan menggunakan uang telah sedari lama menjadi kegiatan keseharian di semua bangsa. Namun, titik poinnya bukan sekadar demikian. Ada ragam aspek turunan istilah-istilah perbankan yang semakin hari semakin kompleks. Termasuk dalam skala internasional maupun domestik. Terma-terma perbankan akan merujuk pada istilah-istilah asing (baca: Inggris) meski kadang tetap harus melalui proses pengindonesiaan terlebih dahulu.
Walhasil, istilah-istilah Inggris tersebut kemudian menyesap menjadi bentuk kesadaran dan menancap sebagai pengayaan istilah yang kemudian disepakati bersama sebagai ciri khas produk bahasa (kata). Oleh karena itu, menjadi telanjur familiar istilah “transaksi”, “saldo”, “rekening”, “valas”, “debit”, “kredit” dan seterusnya. Dan bahkan, istilah-istilah tersebut menjadi kata baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Saya menjumpai fakta menarik tentang kegalauan seorang nasabah di salah satu bank syariah pada portal berita Okezone.com, 31 Agustus 2013 dalam rubrik konsultasi perbankan . Ringkasnya, si nasabah pusing memahami istilah di perbankan syariah lantaran berbahasa Arab. Si nasabah khawatir uangnya lenyap kalau-kalau keliru bertransaksi lantaran hanya ia kurang mengerti istilah Arab di perbankan syariah.
Kegalauan macam itu kiranya tidak hanya dialami seorang nasabah saja. Dan, di balik kasus tersebut, sekurang-kurangnya terdapat dua pertanyaan yang mesti diajukan: pertama, kenapa banyak istilah di perbankan syariah di Indonesia harus memakai istilah (berbahasa) Arab. Kedua, apa relevansinya dan seurgen apa perbankan syariah di Indonesia harus memakai istilah Arab. Bukankah hal ini hanya sekadar istilah. Apa tidak sebaiknya ragam istilah ke-Arab-araban itu di-Indonesiakan saja.
Di satu sisi, mengarabkan hal-hal yang sudah terdapat padanan dan sudah terpaham bagi kalangan awam adalah bentuk pemaksaan berbahasa. Pun, di sisi lain, saya belum menjumpai landasan historis bahwa bahasa Arab turut mengintervensi perkembangan istilah perbankan modern. Jangan sampai langkah pengaraban ini kemudian menimbulkan kesan bahwa Arab adalah Islam dan pasti syar’i. Perbankan syariah senyatanya diartikan meluas batas. Bukan diukur sekadar dengan memakai istilah ke-Arab-araban.
Bukan menilik tentang cara pandang pemahaman mengenai bentuk-bentuk teknis berupa soal istilah. Melainkan lebih ditekankan pada esensi syariahnya. Bukan atribut kebahasaan. Jadi, semisalkan kita tak perlu berlatah mengambil padanan Arab untuk transaksi pemesanan barang dengan sebutan akad salam. Jadi menganggap syariah harus berlatah dengan menggunakan simbol-simbol Arab kiranya kurang tepat. Penggunaan istilah Arab dalam konteks perbankan syariah akan memicu tumbuhnya anggapan bahwa perbankan syariah ialah perbankan yang memakai istilah Arab.
Pemunculan asumsi bahwa istilah “Inggris” harus diganti dengan Arab membawa dampak kerancuan. Bukankah bahasa Arab kata “bank” itu juga tetap terbaca “bank” dalam bahasa Arab? Tidak kok kemudian diganti dengan kata lain (pengaraban). Artinya, bahasa Arab pun dalam konteks demikian juga sederajat dengan bahasa Indonesia: sama-sama mengadopsi sebuah terma untuk kemudian tidak diganti dengan bahasanya sendiri.
Kontradiksi dan sikap paradoksnya adalah ketika kita mencoba mengarabkan istilah perbankan lainnya yang padahal sudah terdapat padanan indonesianya atau kita menerimanya begitu saja dari istilah perbankan konvensional. Oleh karena itu, perbankan syariah di Indonesia sebaiknya tetap menggunakan istilah-istilah yang sudah ada dalam perbankan konvensional -yang sudah terakrabi oleh masyarakat. Perbankan syariah seharusnya menjadi ruh. Bukan meluas dengan pelbagai ragam pakaian istilah yang ke-Arab-araban.
Tapi, mengapa kemudian hal itu harus disikapi serius dan mesti dipermasalahkan. Apalagi dianggap sebagai bentuk penjajahan atas sikap berkebudayaan –identitas kebahasaan. Bukankah sebagian masyarakat kita –termasuk saya- telah menjumpai istilah-istilah perbankan syariah tersebut dalam referensi fikih klasik -berbahasa Arab- yang diajarkan di banyak pesantren di Indonesia.
Jika dirunut jauh ke belakang, tersembul kesimpulan bahwa istilah-istilah perbankan syariah –meski dengan istilah sederhana- sudah terakrabi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Dalam kitab fikih klasik tersebut terbahas perihal ragam kegiatan perekonomian dalam skala sederhana. Maka, praktis bermunculan ragam istilah-istilah ekonomi berbahasa Arab yang kemudian juga terdapat dalam perbankan syariah sekarang.
Salah satu ciri pembeda perbankan syariah dengan konvensional adalah terkait istilah “riba”. Satu kata ini dianggap momok sehingga boleh jadi dalam perkembangan dunia perbankan modern kurang diminati oleh sebagian kalangan. Riba pun kemudian menjelma menjadi “monster” yang sayangnya kadung terkooptasi bahwa semua tambahan dari transaksi terhukumi demikian. Pengertian riba yang kerap diartikan “bunga” juga perlu ditinjau ulang lantaran riba memiliki sudut pandang yang kompleks. Tidak sekonyong-konyong semua tambahan diartikanriba. Di sinilah urgennya pengindonesiaan kata “riba”.
Perbankan syariah bisa jadi lebih ke-Arab-araban lantaran memang beberapa istilah perbankan belum ada padanannya dalam KBBI. Sedangkan di sisi lain, sudah terdapat sebuah model kasus yang sudah dikemukakan jauh-jauh hari dalam literatur fikih klasik. Positifnya, hal ini tentunya bisa menjadi pembelajaran masyarakat akan bahasa Arab yang memang sudah mempunyai model kasus sebelumnya untuk kemudian dimunculkan dalam istilah perbankan syariah dewasa kini.
Dalam acara bahtsul masail yang kerap gelar oleh pesantren guna merumuskan jawaban atas sebuah masalah sosial-keagamaan sudah jamak istilah perbankan syariah dikemukakan. Bahkan, tak jarang kalangan pesantren lebih sering mengungkapkannya dengan istilah tersebut ketimbang menggunakan istilah Indonesia atau Inggris-nya. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa istilah di perbankan syariah sudah memasyarakat di komunitas masyarakat tertentu.
Dengan demikian, pemunculan istilah Arab dalam perbankan syariah sebaiknya dianggap tak ubahnya sebagai memakai istilah bahasa agama seperti shalat untuk mengartikan sembahyang. Bila tidak demikian, hal ini bisa juga dianggap sebagai bentuk pembelajaran dan upaya memasyarakatkannya. Indonesia yang bermayoritas muslim adalah wajar bila perbankan syariah menggunakan bahasa Arab. Karena perbankan syariah akan berhilir pada pencapaian sistem perekonomian yang diridai oleh Allah swt sebagai falsafahnya. Untuk menujunya, tentu harus berkiblat pada rujukan referensi keislaman klasik/kontemporer yang kebanyakan tersaji dengan memakai bahasa Arab.
Sedangkan dalam konteks budaya, memang semestinya kita sebisa mungkin untuk mencipta padanan khas Indonesia-nya. Dilema, dalam satu sisi istilah perbankan konvensional lebih bersifat ke-Inggris-inggris-an. Dan, bukankah ini sebagai bentuk penjajahan budaya pula. Sedangkan dalam perbankan syariah kental dengan istilah ke-Arab-araban.
Tapi, bila sebagian kita merasa pusing dengan istilah Arab seharusnya kita juga ikut pusing dengan istilah Inggris. Jika tidak, bukankah ini sebuah bentuk standar ganda. Bukankah bahasa/istilah Arab sebenarnya sedari kecil sudah diajarkan dan perkenalkan dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya hal ini tidak menjadi alasan untuk berskeptis terhadap istilah Arab dalam perbankan syariah.
Walhasil, saya berkesimpulan lebih baik menempatkan perbankan syariah sebagai ruh/jiwa semata. Sebagai pula prinsip yang benar-benar harus sesuai Syariah Islam. Bukan sekadar label semata. Adapun penggunaan istilah Arab atau Inggris pada perbankan konvensional maupun syariah hanyalah soal “pakaian”. Kita anggap saja bentuk luar, atribut. Tapi, dalam kacamata budaya, persoalan demikian tetaplah penting lantaran menyangkut identitas dan jati diri sebuah bangsa atau peradaban. Bahwa Indonesia sesungguhnya juga mampu memproduksi istilah-istilah perbankan dengan caranya sendiri secara mandiri.Wallahu A’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H