Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Book

Masihkah Berbeda untuk Berseteru

2 Oktober 2023   08:30 Diperbarui: 2 Oktober 2023   08:56 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: rosda.co.id

Hingga hari ini, problem berlandaskan identitas primordial terus bermunculan dengan tendensi kian menguat. Rasisme misalnya, bahkan masih menjadi persoalan utama di manapun; tak terkecuali di negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keadaban untuk menghormati liyan sering berhenti pada tataran teoritis dan senantiasa melanggengkan kebanggaan pada identitas kedirian; bahwa sukuku lebih unggul ketimbang budayamu.

Hanya bersebab perbedaan agama pula, timbullah konflik. Dikarenakan berlainan etnis, muncullah arogansi untuk menegasikan lantaran dianggap sebagai ancaman. Liyan bak monster atau serupa musang yang sedang berbulu domba untuk berpura-pura baik tetapi pada saatnya, bakal menerkam dan membabar perseteruan. Hingga hari ini, fakta sosial serta stereotipe saling curiga masih bercokol di alam bawah sadar banyak manusia. Tidaklah sulit untuk memberikan bukti sahih bahwa di banyak negara: rasisme, seksisme, dan diskriminasi masih bertumbuh subur-berakar kuat.

Mestinya, sejarah peradaban manusia kian hari dengan indikator kemajuan komunikasi-teknologi serta interaksi bersebut globalisasi, turut sejalan-selaras dengan tingkat keadaban guna menciptakan kehidupan yang berkeprimanusiaan. Paradoks macam ini lantas berkelindan menjadi ancaman terhadap eksistensi manusiia itu sendiri. Kesadaran atas realitas perbedaan masih terkata rendah ketika manusia telah sanggup menjejakkan kaki di purnama.

Buku ini mengurai ragam fenomena konflik yang menyedihkan sekaligus absurd bagi relasi antarmanusia dalam tatanan kehidupannya sehari-hari. Bumi yang hanya satu sebagai tempat tinggal; yang mestinya bisa dikelola dengan adil guna bisa dinikmati oleh saban manusia itu sendiri. Sehingga, kerakusan dan keserakahan sebagai pangkal konflik bisa diredam. Namun problemnya, aneka konflik manusia disebabkan oleh faktor paling esensial, yakni identitas diri sebagai penanda primordial pada setiap manusia yang terdiri atas suku, etnis, bangsa-negara, dan agama.

Hari-hari ini, telah rapuh dan terkikis akan kesadaran bersama pada pemahaman keberbedaan (diversity). Rupa-rupa manusia dengan segala atributif latar belakang dari mana berasal mestinya menjadi kemafhuman sebagai keniscayaan (sunnatullah). Dalam sudut pandang Islam, realitas akan perbedaan sudah menjadi garis takdir yang oleh Allah Swt tetapkan dengan warna-warni suku (qobaila) dan bangsa-bangsa (syu'uba).

Pernak-pernik manusia tersebut lantas menujukan pada satu hal yang mau tidak mau kudu dilakukan: bangun interaksi bersama-sama (li-ta'arafu). Karena itu, manusia berhakikat pada fitrah untuk bersosial ria. Hanya saja, keakuan dan tendensi merasa lebih unggul-lah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan terlebih dulu lantaran menjadi batu sandungan untuk tercapainya relasi rukun-harmonis. Satu sisi, perbedaan identitas primordial merupakan karunia tak ternilai, sekaligus bisa menjadi bencana besar ketika perbedaan hanya mampu dipahami sebagai ancaman eksistensi.

Diksi perbedaan inilah yang dalam buku ini teristilahkan pluralisme dan multikulturalisme. Dalam tamsil sederhana: Indonesia dengan keragaman perbedaan yang dimiliki, meletakkan semangat guna mencapai persatuan. Hilir dari perbedaan adalah adanya kerelaan bersama untuk senasib-sepenanggungan dengan memikul berat yang sama. Muara pluralisme-multikulturalisme bukanlah mencapai penyamaan identitas diri. Melainkan bersiteguh dalam kesetaraan sebagai warga negara. Entah bersuku Jawa, Minang, atau Dayak, selagi berpolah melanggar hukum, tetaplah terkena konsekuensi tanpa pandang bulu.

Buku ini mewedar problem identitas primodial dengan uraian bernas. Tak ada rumusan ampuh menghadapi pelbagai konflik rasial-agama selain menyikapinya dengan kerelaan diri untuk menurunkan ego diri demi menaikkan ego (kepentingan) bersama. Kesadaran spiritual bahwa saban manusia pada dasarnya sama di hadapan Sang Ilahi membuhulkan sikap untuk memaknai kembali sekaligus mencari hikmah akan keberbedaan guna keberlangsungan hidup secara lebih arif lagi.

Konsepsi perbedaan dalam diktum pluralisme-multikulturalisme bukanlah meleburkan dan menjadikan satu warna persamaan. Melainkan dimaksudkan untuk bersama-sama mencari titik temu dalam sekup yang lebih luas dalam wujud berbangsa-bernegara. Indonesia terkata paling sesuai sebagai tamsil kebersatuan sebagai sebuah bangsa-negara yang di dalamnya terdiri atas beragam suku dan pemeluk agama.

            Sementara dalam tataran puncaknya, beragam bangsa dan negara di muka bumi ini, perbedaan-perbedaan identitas primordial di dalamnya, mengerucutkan pada tema besar yang bersebut Kemanusiaan: sebagai sesama manusia dan sama-sama makhluk Tuhan. Kesadaran spiritual inilah yang menjadi spirit tema buku guna memberikan tawaran semacam resolusi konflik. Dengan kata lain, bawaan dasar manusia yang berbeda-beragam adalah bersatu, bukan berseteru. Homo homini lupus mestinya berhilir menjadi homo homini socius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun