Bentang data lembaga riset bisnis We Are the Social pada tahun 2021 menyibak fakta mencengangkan. Yakni, dari total 274,9 juta penduduk Indonesia, sekitar 170 juta telah menggunakan media sosial. Lebih lanjut, angka penetrasi pengguna media sosial sebesar 61,8 persen (hlm: iii).Â
Artinya, ada interaksi cukup intens sebagai pengguna aktif. Selain berbelanja atau bertransaksi usaha, media sosial membuka lebar-lebar wadah perjumpaan dan perbincangan beragam hal. Ribuan aneka unggahan meluberkan informasi yang penting hingga amat tak penting.
Jutaan pengguna media sosial tersebut pada akhirnya mengerucut pada pertanyaan, apakah renik-renik aktivitas mereka bisa dipelajari dan diteliti sebagaimana etnografi yang mempelajari kehidupan suatu komunitas di dunia yang rill?Â
Mengingat bahwa mereka bercorak anonim dan boleh jadi bersifat kontras dengan laku keseharian. Dengan kata lain, bisa muncul semacam "kepribadian ganda": di media sosial amat banal dan kasar, tetapi pada kehidupan rill bertolak belakang. Di sinilah relevansi dan urgensi mempelajari Netnografi sebagai suatu metode studi.
Metode netnografi merupakan siasat untuk mempelajari budaya pengguna internet, menukik pada pengguna media sosial. Akronim dari Internet dan Etnografi, netnografi berikhtiar menguak budaya dari sudut pandang orang yang diteliti dengan prinsip investigasi, keterlibatan dengan orang yang diteliti, dan imersi (hlm: 2).Â
Hingga hari ini, perangkat riset atas pengguna media sosial masih terbilang minim tetapi berprospek. Selain kian bertambah jumlah pengguna media sosial, juga menghasilkan apa yang disebut big data (data raksasa). Hendak diapakan big data, fungsinya, serta esensi darinya itulah, yang dibincang dalam studi netnografi.
Kehadiran media sosial adalah ruang baru sekaligus kehidupan luas dalam berpendapat atas suatu isu hingga pemunculan isu itu sendiri yang bersebut viral. Netnografi menguji kekuatan warganet (netizen) pada asumsi sejauh mana warganet peduli dan ambil peran.Â
Hal seperti ini, boleh jadi nyaris sama dengan kehidupan rill dalam tema kegiatan rapat dan diskusi. Namun, dalam jejaring virtual, meluaskan pada semua lapisan untuk berpartisipasi dan lebih jujur serta berani berekspresi --meski sering kebablasan. Ada perbedaan mencolok yang harus diakui, bahwa atributif virtual acap kali mengabaikan norma-norma kesantunan berujar/bernarasi; membedai lanskap jumpa rill.
Dr. Eriyanto selaku penulis buku, memaparkan sebuah studi kasus netnografi bertema pelecehan seksual. Mengangkat dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang pesohor kepada penggemarnya di tempat hiburan.Â
Dalam kasus ini, penggemar sebagai korban selang beberapa waktu agak lama, baru "melaporkan" kejadian nahasnya kepada netizen melalui platform Twitter. Sontak, warganet riuh, gaduh, dan lantas viral.Â