Belakangan, sengkarut di masyarakat berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kian menajam sebagaimana laporan utama Koran Sindo edisi 17 Januari 2022. Sentimental primordial tersebut memasuki kondisi cukup mengkhawatirkan. SARA terpakai sebagai bahan provokasi; yang dapat berimbas saling curiga, rusuh, dan konflik. Meskipun terkata konflik SARA lebih banyak bertipikal fluktuatif dan peristiwanya temporal; tidak terus-menerus, toh faktanya nyaris terjadi di saban daerah serta lintas periode.
Sebagai ikhtiar bagian dari resolusi konflik, sudah banyak kajian dan penelitian mengurai muasal provokasi-konflik SARA. Ditinjau mendalam, setumpuk penelitian yang sudah terpublikasi tampak berkutat mengambil latar tempat yang selama ini berkonflik berkepanjangan. Sebaliknya, pembaca masih jarang mendapati penelitian yang justru merekam daerah "aman". Aman dalam artian bukan tidak pernah terjadi konflik sama sekali. Melainkan konflik pernah berlangsung sebentar/singkat.
Dus, buku tebal ini berangkat dari penelitian kehidupan keberagamaan berlatar Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pembaca mungkin mengernyitkan dahi: Mengapa Sukabumi? Bukankah Sukabumi boleh dikata daerah aman-harmonis? Dan, Sukabumi adalah sebagaimana kebanyakan kabupaten/daerah di Indonesia yang  nyaris tak terdengar peristiwa konflik SARA. Ujang Saefullah selaku penulis buku dari hasil disertasinya ini menghadirkan perspektif berbeda.
Sebagai landasannya, seaman-amannya sebuah daerah level kabupaten/kotamadya, sulit untuk mengklaim benar-benar bebas dari potensi provokasi-konflik berbasis SARA. Dengan kata lain, setidaknya pasti pernah terjadi friksi maupun gesekan dalam skala kecil. Sukabumi pun tidak luput dari isu pembakaran kitab suci, peledakan bom dekat rumah ibadah, perihal sulitnya mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah, dan gerakan keagamaan yang "lompat pagar". Lompat pagar berarti menyasar orang-orang yang telah memeluk suatu agama untuk diajak masuk ke agama lain.
Sejumlah kasus berbasis SARA yang terjadi di Sukabumi di atas tersebut terbilang sudah lampau, kisaran tahun 1980-an dan tahun 2000-an. Meski begitu, justru di sini titik poinnya: tidak ada jaminan kasus tersebut tak terulang. Apalagi, Sukabumi tidak hanya dihuni satu agama dan satu suku. Konflik/provokasi SARA meskipun pernah terjadi dan skalanya terbilang kecil, tetaplah menyimpan memori untuk selalu relevan dikaji demi menjaga keberlangsungan kerukunan ke depan dan seterusnya.
Orang Sukabumi sendiri berprinsip reugreug pageuh, repeh rapih, kacai jadi saleuwi kadarat jadi salegok: hidup ingin selalu damai dan tentram dengan siapa pun, tidak memedulikan latar belakang; sehingga saling menyayangi. Pun, urang Sukabumi mah boga prinsip hirup sauyunan jeung kudu nyaah kasasama: hidup berdampingan dan menyayangi antarsesama (halaman 58:). Dus, kearifan lokal dalam prinsip hidup semacam ini toh dipunya juga oleh semua etnis-suku di Indonesia.
Walhasil, masyarakat Indonesia yang terdiri dari ragam suku-etnis beserta agama-kepercayaan, sesungguhnya merupakan modal kekayaan khazanah membangun bangsa ini dalam aras kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Namun, idealita semacam ini meski terus diupayakan-dijaga, tetap tidak bisa menampik realita, bahwa konflik dan provokasi berbalut SARA tampaknya tidak pernah sirna. Karena itu, buku ini menawarkan solusi praktis berlandas tamsil Sukabumi yang kiranya relevan diadopsi oleh semua daerah/kabupaten yang berkategori aman.
Peran FKUB
Ujang menyorot pentingnya penguatan dan optimalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai jembatan menjaga kerukunan umat beragama. Ada tiga cara dengan berkaca dari FKUB Sukabumi. Pertama, mengintensifkan dialog antarumat beragama minimal tiga bulan sekali. Dialog bukan lagi implementasi klise lantaran mestinya dialog benar-benar melibatkan seluruh stakeholder/pemerintah dan pimpinan semua agama. Kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi umat beragama dan ormas keagamaan apabila terjadi potensi gesekan. Artinya, akar rumput tidak diperkenankan "main hakim sendiri", tetapi terlebih dahulu menyampaikannya kepada pimpinan agama/ormas. Hirarki bentuk laporan semacam ini efektif  mencegah provokasi menjadi konflik. Â
Ketiga, sosialisasi peraturan perundang-undangan berkait umat beragama seperti Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Sosialisasi dilakukan untuk merajut kesepahaman bersama bahwa semua umat beragama terikat oleh aturan yang sama dan telah disepakati. Artinya, tidak ada diktum mayoritas-minoritas. Konsepsi pada pemahaman kesetaraan ini perlu dipatrikan oleh semua pihak.