Ekstremisme beragama bisa muncul di mana saja, termasuk di kampus. Masih segar di ingatan beberapa tempo silam, sejumlah perguruan tinggi mengeluarkan edaran larangan terhadap aneka gerakan dan paham yang mencoba mendoktrin para mahasiswa dengan paham anti-Pancasila, menggugat NKRI. Bentuk-bentuk lain ekstremisme ialah kemudahan memvonis bidah, syirik, dan kafir kepada pihak/teman berbeda paham keagamaan.
      Timbul pertanyaan pula, sejauh mana kurikulum di internal kampus mampu mewedarkan jalan tengah (moderasi) pendidikan keberagamaan kepada mahasiswa. Penguatan moderasi mestinya terlebih dahulu terpatri dari perguruan tinggi. Karena itu, salah satu upaya menumbuhkan keberagamaan inklusif di kampus sekaligus memagari dari masuknya pemahaman ekstremis, bisa melalui pendekatan reformulasi dan reformasi pada mata kuliah berbasis keagamaan.
Di sejumlah perguruan tinggi, terdapat mata kuliah dan atau penjurusan bersebut Studi Islam (SI). Mata kuliah ini mengupas materi agama Islam: Alquran, Hadis, hingga sejarah keislaman. Mata kuliah ini biasanya dijadikan sebatas pengenalan/pengantar belajar agama dengan bobot dua-empat SKS. Bagi mahasiswa perguruan tinggi/universitas keislaman yang berkuliah di jurusan "umum", mata kuliah ini, amatlah penting. Lantaran, kiranya pada mata kuliah tersebut sebagai wahana belajar agama di kampus.
      Karena itu, perhatian perlu diarahkan pada substansi dan materi yang terkandung dalam buku-buku yang menjadi rujukan mata kuliah SI. Gaya pemaparan buku SI meski sudah lolos uji, bukan berarti teranggap paripurna untuk dijadikan buku panduan mahasiswa yang nirrevisi dan tinjau ulang substansi. Hal ini dikarenakan, aneka persoalan dan dinamika keberagamaan terus bertumbuh yang menuntut respons faktual-kontekstual. Dengan kata lain, SI sebagai basis pengetahuan agama bagi civitas akademik juga perlu pengembangan wacana aktual dan menyesuaikan perkembangan dialektika isu kekinian.
      Jika konten buku-buku SI sekadar pemaparan normatif, maka dikhawatirkan, selain eksistensi perkembangan intelektualitas keagamaan bakal jalan di tempat, juga bisa mendorong mahasiswa digelayuti kejumudan, kejenuhan. Maka, buku-buku keagamaan di kampus mesti mendapat perhatian besar: sejauh mana buku-buku tersebut masih bisa menjaga mahasiswa berada di rel. Jangan sampai buku-buku SI menumbuhkan ekstremisme, misalnya.
Berdasar itu, paparan buku SI mesti menyorongkan jawaban atau ikut berupaya meng-counter corak-corak paham radikal. Selain tentunya memaparkan kajian Alquran dan Hadis, konten buku-buku SI juga perlu kiranya menjelaskan kerangka teoritik bahwa ajaran agama tidak lagi hanya bisa dilihat melalui satu-dua keilmuan (halaman: 175). Menafsirkan Alquran selain harus mumpuni bersastra Arab dan keilmuan agama, juga sudah waktunya melibatkan keilmuan lain macam sosiologi, psikologi, antropologi.
Dari tamsil semacam ini, kiranya mahasiswa bakal menyimpulkan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi ustaz, dai, penceramah. Sehingga, mahasiswa tidak lekas mudah melabelkan seseorang menjadi panutan beragama sekadar cakap bicara dan berbusana "religi". Pun, menjadikan mahasiswa menyadari bahwa agama tidak bisa disejajarkan layaknya ilmu eksakta. Mengapa? Lantaran agama bersifat luwes dan lentur. Agama menyediakan seribu pintu, seribu tafsiran. Dengan kata lain, masuk melewati pintu A, tidak berarti keliru; sementara pintu B teranggap paling sahih. Bahkan, seribu pintu tersebut bisa dianggap sebagai keseluruhan "kebenaran".
      Penekanan tersebut kiranya terbilang tepat bila dikaitkan untuk meredam bibit ekstremisme yang bertipologi memandang sebuah ayat/dalil berdasar apa yang tertulis, tekstualis. Terpenting lagi kandungan buku-buku mata kuliah SI selayaknya menyorongkan kemampuan mahasiswa menangkap esensi ajaran Islam berupa kemudahan dalam menjalani praktik beragama dan selalu mengedepankan keluhuran budi (halaman: 44).
Kehadiran buku Pengantar Studi Islam ini, selain sebagai referensi mahasiswa mengambil mata kuliah SI, senyatanya turut menguar pentingnya moderasi beragama; kala agama tidak dimonopoli oleh pemahaman satu mazhab/firqah. Nilai-nilai keberagaman itulah yang mestinya akan memunculkan sikap penghormatan satu sama lain. Walhasil, prinsip yang mesti dipegang seorang mahasiswa adalah tidak merasa mazhabnya/aliran keagamaannya/ormasnya menjadi paling benar sembari menyalahkan corak keberagamaan pihak lain.
Pembabakan penting buku ini juga menibakan pemahaman atas transmisi keilmuan (sanad). Dengan kata lain, tidak tepat bila studi keislaman dimaknai belajar langsung dari Alquran dan Hadis. Butuh seperangkat dan aneka keilmuan yang menyertainya. Pun, peranan ilmuwan muslim (ulama) itu sendiri sebagai rantai transmisi dari Nabi Muhammad Saw hingga hari ini. Walhasil, bakal kontraproduktif manakala bercakap-paham Islam sekadar dari kegiatan membaca terjemahan Alquran maupun Hadis.