Ajaran berpuasa telah termaktub lintas masa peradaban manusia. Pengajaran moral pada perbaikan laku lampah diri sendiri. Merambah pula pada penajaman kepekaan  berkonteks sosiologis. Telah banyak wedaran faedah puasa sebagai sarana pelatihan raga dan jiwa berkait atribusinya dengan Yang Di Atas. Paparan positif berpuasa pun menjalar pada relasi sosial, lingkungan kanan-kiri. Capaian ideal tersebut hanya diperoleh bagi yang benar-benar berpuasa, sesungguh-sungguh berlapar-lapar.
Puasa merupakan ejawantah pendidikan karakter. Pengekangan nafsu untuk tidak serba lantas-serba lekas. Di sinilah gemblengan mewujudkan sikap sabar; bahwa lapar yang menusuk perut di siang hari, bakal beroleh pemenuhannya rampung sang surya tenggelam. Ada manajemen konsumsi yang didapat, terdapat mekanisme ideal fungsi organ pencernaan dalam metabolisme, dan berhilir pada kesehatan fisik badan. Walhasil, capaian sabar menahan lapar bisa kemudian diterapkan pada lanskap perbincangan kekinian; terutama di media sosial untuk tidak serba lantas asal berkomentar dan membagi kabar berunsur hoaks.
Kejujuran dan kesantunan tutur merupakan nomenklatur puasa yang tidak bisa dipisah. Hal ini baru bisa dicapai bilamana konsepsi puasa berupa benar-benar berlapar-lapar dihayati penuh. Sensitifitas orang berpuasa sebagai alarm bakal berbunyi keras bila mulut hendak berdusta atau ribut-ribut tiada guna. Rasa lapar yang menyanyat seyogianya sebabkan malasnya berkata kotor dan umbar kebohongan.
Puasa merupakan perisai dari tindak-tanduk buruk. "Makanlah makanan ini", seru Nabi Muhammad Saw. kepada seseorang yang kedapatan mencaci maki pembantunya di siang Ramadan. Kalimat perintah Nabi Saw itu bisa diartikan sebagai satire sekaligus pengingat keras. Betapa puasa sebagai ibadah perihal pengendalian diri, tidak sekadar menahan makan-minum. Di sinilah urgensi puasa menjadi titik pembeda antara puasa kuantitatif dan kualitatif. Senyatanya ada kehambaran-kehampaan dan hilangnya nilai spiritualitas lantaran berpuasa sekadar menahan lapar (formalitas), belum benar-benar menghayati arti merasakan lapar (hlm 175).
Berpuasa sebagai sarana penyucian jiwa meniscayakan kalbu terbebas anasir-anasir kebencian kepada mereka yang tidak berpuasa dan atau merasa ingin dihormati tersebab berpuasa. Justru, anjuran Prof Ahmad Tafsir, guru besar UIN Bandung, kepada yang tidak berpuasa, cintailah mereka. Mencintai dengan arti menghormatinya; mengandaikannya berbaik sangka dikarenakan sedang kepayahan (hlm 173).
Menariknya, timbul semacam sebab-akibat dan imbal balik perihal saling menghormati. Imbas pendidikan karakter yang idealnya terpatri pada ibadah puasa. Ketika yang berpuasa menghormati yang tidak berpuasa, maka, yang tidak berpuasa seturut pula menghormati yang berpuasa. Fenomena tersebut mendedahkan dalil bahwa kemanusiaan dan keharmonisan merupakan fitrah manusia merangkai relasi sosial.
Pendidikan karakter puasa sebagai ibadah personal pun, membawa konsekuensi bahwa tidak semestinya perkara privasi menjalar menjadi kebijakan publik. Dampaknya, selain mengingkari kemultikulturan, membikin gaduh lantaran muncul pro-kontra, pun  menyalahi asasi ibadah puasa itu sendiri sebagai ibadah vertikal yang khas. Walhasil, buku ini mengajak pembaca untuk kemudian menilai secara arif, apakah terkata masih relevan dan mencerminkan pendidikan karakter keagamaan atas semisal kebijakan peraturan daerah (perda) untuk membatasi jam buka warung dan kemudian hanya menghasilkan narasi kontraproduktif beserta defisit nilai-nilai keagamaan di ruang publik. Â
Meskipun puasa identik ibadah personal, namun, sejatinya pengajaran di dalamnya menyuratkan ejawantah kerja-kerja sosial. Petuah Nabi Muhammad Saw. bahwa telah banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan dahaga, merupakan babaran sarih nan eksplisit, bahwa ada beban dan semacam tanggung jawab lebih besar yang disandang oleh orang berpuasa. Yakni, ikhtiar perwujudan perangai luhur. Terlarang mencaci, menggunjing, berbohong, culas; merupakan sederet laku-laku buruk yang rawan menisbikan keharmonisan komunikasi antarsesama, tipologi pergaulan keseharian.
Pada termin akhir, keluaran (output) puasa adalah pencapaian muttaqin, ketakwaan yang bisa diartikan meningkatnya ketaatan ritual dan lebih-lebih sosial. Bahasan tema puasa pada buku ini mendalilkan kenikmatan berlapar-lapar saat puasa. Namun, hal itu terkira simbolitas penghambaan lantaran pendidikan karakter ibadah puasa terletak pada kepedulian sosial agar jangan sampai di lingkungan kita ada yang benar-benar menderita kelaparan. Dengan kata lain, paling tidak, munculnya sensitifitas kepedulian kepada mereka yang berada di titik kefakiran dan garis kemiskinan.
Data buku: