Telah banyak teori Pendidikan Karakter diuarkan oleh para ahli. Masing-masing teori bertumpu pada perbaikan laku lampah; perangai. Ini semacam etika, adab, tata krama dalam diri seseorang sekaligus relasi kepada sesama. Tak terkecuali Islam. Pendidikan Karakter keislaman sering disebut akhlak. Garis pembeda Pendidikan Karakter keislaman dengan lainnya terletak pada pondasi atau pembelajaran awal. Yakni, pertama-pertama merunut babakan akidah/teologi. Akidah merupakan pendasaran mutlak untuk kemudian dijadikan jangkar bertindak-tanduk.
Alquran, Sunnah, beserta hikayat agung para ulama, merupakan sumber pendidikan karakter islami. Dibangun berdasar wahyu Allah Swt. Diejawantahkan oleh perangai luhur Nabi Muhammad Saw, serta diteruskan para ulama yang zuhud. Sebagaimana kita tahu bersama, Alquran memuat petuah kehidupan sangat dominan ketimbang urusan teknis ibadah. Hal ini mendalilkan bahwa polah laku manusia menjadi tolok ukur sebagai khalifah di Bumi.
Manusia yang sewenang-wenang dan amoral, dikatakan derajatnya lebih hina ketimbang binatang. Predikat "insan kamil" seorang manusia diperoleh manakala ia telah beriman dan beramal bajik. Antara beriman dan berbuat kebaikan tidak bisa dipisahkan. Terkata percuma seorang mengaku beriman namun polah kesehariannya dipenuhi laku nirmoral. Pun, teranggap hipokrit saat tumpukan kebaikannya tidak dibarengi keimanan. Lantaran, diakui atau tidak, hakikatnya manusia senyatanya membutuhkan Tuhan. Manusia sangat membutuhkan ajaran-Nya melalui diktum agama (hlm:7).
Berkali-kali manusia berusaha "mengganti" peran Tuhan dengan logika, ilmu pengetahuan. matematika; tapi entah bagaimana jiwa terasa kosong, hidup terasa lengang tanpa arti (hlm: 6). Praktik hidup manusia modern yang mengagungkan teknologi sembari meninggalkan titah-Nya, nyatanya membuat manusia terbelenggu oleh problema baru. Pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan justru mengancam kehidupan manusia. Eksploitasi sumber daya alam dan kian canggihnya peralatan militer mengundang bencana alam serta peperangan.
Poin lanjutan penerapan pendidikan karakter keislaman adalah menisbatkan tokoh panutan untuk dijadikan suri teladan. Pada Islam, panutan agung tersemat oleh sosok Nabi Muhammad Saw (hlm: 113). Kala itu, beliau diutus untuk memperbaiki budi pekerti masyarakat Arab yang berlabel jahiliyah. Sedari muda, Nabi Saw sudah berjuluk Al-almin; di mana kejujuran dan tak pernah sekalipun berdusta, menjadi karakter. Saat beroleh kesempatan membalas kaum Mekkah yang pernah mengusirnya; dalam Fathul Makkah itu, Nabi Saw justru memaafkan mereka. Dan, meskipun dimaki tiap saat oleh perempuan Yahudi tua nan buta, oleh Nabi Saw, malah menyuapinya saban hari.
Sementara teori pendidikan karakter pada lazimnya, aspek tokoh/suri teladan terluputkan. Hal ini tentu menimbulkan penjarakan (gap) antara teori dan sisi praktik. Teori-teori yang melangit yang kemudian gagal dibumikan lewat serangkaian praktik kehidupan keseharian. Maka tak heran dan terkata relevan bila pada hari-hari ini masyarakat serasa krisis mencari tokoh panutan. Bahkan pun dalam lingkup terkecil laiknya keluarga.
Karena itulah, pendidikan karakter keislaman dimutlakkan dimulai dari keluarga. "Memaksa" orang tua menjadi sosok panutan bagi anak-anaknya. Alquran secara eksplisit menamsilkan hikayat keluarga Luqman dalam konteks pendidikan karakter. Nasihat Luqman kepada anaknya bertumpu dua hal: basis keimanan kepada Allah Swt serta penanaman budi pekerti (hlm: 43). Maka tak berlebihan, bila beranjak dari keluarga Luqman, anak-anak bakal tumbuh menjadi generasi beradab.
Pendidikan karakter islami juga mendasarkan adanya relevansi ibadah dengan relasi sosial. Ibadah puasa mestinya membawa pesan kebaikan kepada siapa pun. Kepada yang tidak berpuasa, justru kita dituntut untuk tetap menghormati. Jangan sampai ada kebencian atas mereka (hlm: 173). Sikap benci dari kalbu seorang berpuasa, justru paradoks dan menyalahi tujuan ideal ibadah tersebut.
Sementara zakat, infak, sedekah, berkurban, merupakan ibadah-ibadah yang mestinya tidak dianggap semata urusan mengejar pahala dan surga. Namun, ada pesan untuk senantiasa peduli terhadap kaum papa nan lemah setiap saat. Dan, berhaji-umrah pun tak perlu berkali-kali lantaran kewajibannya cuma sekali. Selebihnya, dana haji-umrah bisa digunakan untuk kepentingan sosial. Demikianlah ejawantah pendidikan karakter keislaman di mana berkonklusi menyeimbangkan kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Wallahu a'lam
Data buku:
Judul: Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan