Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hidup Minimalis di Era Konsumerisme

31 Oktober 2018   10:59 Diperbarui: 31 Oktober 2018   12:08 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini, kita telah sampai pada era konsumerisme. Era di mana manusia tidak sekadar membeli apa yang dibutuhkan. Melainkan bergeser dengan membeli "keinginan" berpamrih  status sosial, prestis, dan citra. 

Herbert Marcuse menyebutnya "false need" alias kebutuhan yang semu (hlm: 303). Membeli pakaian, misal. Di era yang telah membentuk sempurna term masyarakat konsumen, kebutuhan untuk menyandang lebih dorong oleh tren, dipromosikan pesohor, buatan negara mana. Membeli pakaian senyatanya tidak sedang benar-benar butuh, tetapi lantaran ada diskon besar.

Pada masyarakat konsumtif demikian ini, hanya ada satu tujuan laba. Pemerolehan laba sebesar-besarnya merupakan orientasi utama ketika kapitalisme menjadi pakaian bersama oleh hampir semua masyarakat dunia. Terutama sekali oleh korporasi-korporasi yang dalam buku ini dinyatakan sulit diharapkan kepedulian terhadap permasalahan sosial dan lingkungan. 

Gerak ekonomi yang ditandai berdirinya perusahaan-perusahaan sering distigma sebagai modernitas dan perlambang kemajuan. 

Namun, di sisi lain, cerobong-cerobong industri telah mengeluarkan kepulan asap tebal yang disinyalir penyebab pemanasan global. Kemaruk korporasi untuk terus menjajakan konsumerisme juga berimbas terkurasnya sumber daya alam yang menghilirkan kerusakan lingkungan.

Pada buku berkover anggun ini, sang penulis, Nana Supriatna, mengisahkan keunikan Praha. Wilayah ini pernah dikuasai ideologi sosialisme. Ideologi yang ditandai adanya ikhtiar mewujudkan kesetaraan sosial dan menentang produksi secara berlebihan. 

Praha bersama beberapa wilayah lain di Eropa memang pernah pada masa Uni Soviet berpaham demikian itu. Namun, saat berkunjung ke ibukota Republik Ceko tersebut pada 2017, Supriatna lantas mengabarkan bahwa Praha telah turut dan larut menjadi bagian masyarakat konsumen (consumer society). 

Kini, restoran cepat saji khas made ini Amerika Serikat terlampau mudah dijumpa. Supriatna, profesor sejarah UPI Bandung ini, lantas mengulik sisi lain perubahan radikal itu mulai dari resto-resto yang telah menjadi brand internasional.

Ada keramahan dan senyuman karyawan resto. Supriatna menelisik perihal "remeh temeh" tersebut. Ia dengan fasih menguarkan perihal senyum ramah atau sapaan para karyawan di hampir semua toko-supermaket yang senyatanya tak lebih sekadar siasat korporasi. 

Bagi Supriatna, senyum-senyum itu adalah kepalsuan dan keformalan yang tidak bakal membekas di hati pembeli/pelanggan. Sapaan ramah macam itu hanyalah sebentuk upaya korporasi dalam diktum kapitalisme yang bertujuan mendorong masyarakat untuk terus datang dan terus membeli. 

Korporasi tentu acuh tak acuh soal seberapa sehat dan bergizi kuliner yang dijajakan. Maka, di balik kenikmatan ayam goreng, hamburger, dan sejenisnya; yang kesemuanya menihilkan unsur kesehatan, seraya muncul kemudian masyarakat obesitas dan sakit-sakitan.

Buku berbobot yang dikemas mirip catatan perjalanan (traveling) ini, menyibak renik-renik konsumerisme sejak kemunculannya pasca Revolusi Industri hingga sekarang. 

Rampung menyelesaikan membaca buku setebal 382 halaman, pembaca diwedarkan ironi masyarakat modern; sebuah tatanan sosial yang terus-menerus makan dan belanja secara berlebihan alias boros-konsumtif. Walhasil, secara sarih, Supriatna lantas mengajak kita menjadi pembeli yang rasional. 

Inilah kiranya cara terbaik untuk setidaknya mengurangi nafsu konsumtif. Pembeli rasional adalah yang membeli dengan menimbang seksama antara kebutuhan dan keinginan; dan terutama soal kepedulian terhadap keberlanjutan alam pada barang yang bakal dibeli/dikonsumsi (hlm:289).

Kesadaran untuk mengurangi hasrat konsumtif pada diri masing-masing serta imaji kebersamaan sebagai aksi sosial-bermasyarakat menjadi pemantik untuk mengerem secara perlahan lesatan konsumerisme. 

Gaya hidup minimalis dan atau kewirausahaan berbasis sosial yang tidak semata-mata berorientasi bisnis, merupakan salah satu langkah kecil nan konkret yang bisa kita perbuat. Kini, beberapa kalangan di Jerman enggan membeli produk elektronik terbaru. 

Mereka lebih suka menyewa. Tak semua barang dengan embel-embel paling mutakhir perlu dibeli bila ujung-ujungnya bakal menumpuk-memenuhi ruangan rumah.  

Data buku:

Judul: Prosa dari Praha: Narasi Historis Masyarakat Konsumen Era Kapitalisme Global

Penulis: Nana Supriatna

Penerbit: Rosdakarya, Bandung

Cetakan: April, 2018

Tebal: 382 halaman

ISBN: 978-602-446-222-2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun