Dalam Al-Isra ayat keseratus, Allah Swt menyibak sifat dasar manusia: pelit. Pelit atau kikir bisa diartikan enggan berbagi. Ataupun kalau sudi mengeluarkan sebagian apa yang dipunya, tetap selalu muncul rasa kehilangan. Penyakit kikir semakin berlanjut manakala si pemberi sedekah/penyumbang dihunjamkan perasaan selalu mengingat apa yang telah disumbangkannya; yang berpotensi mengungkit-ungkit amal kebaikan itu suatu hari.
Maka dalam Alquran maupun hadis, agama selalu menyorongkan kepada manusia gemar bersedekah dengan iming-iming pahala besar. Selain tentunya dijamin bakal diganti berkali-kali lipat atas apa yang telah disedekahkan. Lebih dari itu, kata Nabi Saw, sedekah mampu menolak segala rupa bala'/kesialan.
Meski tidak salah, namun praktiknya, tidak sedikit tujuan bersedekah hanya mengharap pahala, surga, dan timbal balik berlipat ganda rejeki. Kesemua unsur ini bila diamati, sekali lagi hanya kembali pada sifat dasar manusia tersebut; yang berkesan individualistik. Hanya mementingkan urusan surga dan pahala untuk diri sendiri. Maka, berangkat dari sinilah, sudah saatnya kita mengambil sudut pandang lain; yakni: melihat hikmah dan tujuan mengapa Allah Swt menyuruh kita berderma.
Ulama berpengaruh Yusuf Qardhawi ---yang familiar atas konsepsi fikih zakat untuk penanggulangan kemiskinan-- melihat sedekah atau dalam pengertian yang lebih luas mencakup: zakat, infak, wakaf, hibah, dan lain sebagainya itu dari sisi distribusi kekayaan atau unsur sosial. Pembagian/penyaluran "timbunan" kekayaan untuk kemudian diberikan kepada yang membutuhkan semata-mata demi upaya pemberdayaan si miskin. Tidak sekadar dilihat dari sebentuk kewajiban agama yang berpahala. Namun, sebagai upaya agama mengentaskan kemiskinan. Kita tahu, kemiskinan atau ketimpangan ekonomi bisa berujung instabilitas sosial. Zakat merupakan bukti agama peduli pemberdayaan ekonomi berkeadilan.
Bila dicermati, Islam menaruh perhatian sangat besar kepada kaum miskin, sebagai elan yang harus dibantu oleh si kaya. Hampir-hampir setiap bagian kepemilikan harta-benda, mulai ladang persawahan, peternakan, hingga komoditas barang perdagangan, semuanya memiliki ketentuan untuk dizakati. Bahkan pelanggaran terhadap ritus agama semisal tidak berpuasa atau melanggar sumpah, dikenakan denda berupa kifarat; mengeluarkan sebagian harta-benda untuk disedekahkan.
 Hikayat masa lampau mengabarkan bahwa zakat terkira ampuh mengentaskan kemiskinan, terutama di zaman Khulafa Rasyidin dan masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz dengan Baitul Mal-nya. Poin penting tesis Qardhawi menyimpulkan keberhasilan implementasi aspek penyaluran sedekah harus melalui lembaga atau institusi. Bukan memasrahkan kepada tiap-tiap person individu yang selama ini lebih bertipikal tidak merata. Qardhawi mengecam keras sebagian pihak yang menganggap kemiskinan merupakan suratan takdir dan oleh karenanya orang miskin tak perlu sampai diberikan akses/modal pemberdayaan.
 Dewasa kini, spirit Baitul Mal senyatanya makin semarak dengan bertumbuh banyak lembaga kemanusiaan. Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT), misalnya. Melalui keaktifan di media sosial sebagai penjangkau lebih luas akses kepada masyarakat, boleh dikata menjadi kunci membangun transparansi publik. Pendistribusian bantuan kepada yang benar-benar membutuhkan menjadi komitmen utama. Dalam media sosial ACT, para penerima bantuan melintas batas wilayah; tidak hanya para kaum papa di pelosok negeri, tetapi juga hingga kepada para pengungsi korban perang di Palestina, Yaman, Suriah, dan Rohingya.
Ada yang menarik yang kita dapat dari ACT dalam rupa inovasi kegiatan kemanusiaan. Hal ini bisa menjadi inspirasi bagi pihak lain untuk berlomba dalam kebaikan. Pada Ramadan yang baru saja berlalu, ACT mendaulatkan program Beri Ramadhan Terbaik!. Salah satu kekhasan program tersebut adalah membagikan hidangan iftar. Di Jakarta sebagai lokus dengan masih banyaknya kaum duafa, ACT menganggap penting untuk menyasar kaum urban miskin sebagai penerima faedah tersebut. Tak cuma di Jakarta, program iftar berjalan di ujung-ujung negeri hingga menyapa para pengungsi di kawasan Timur Tengah dan Rohingya.
Di pengujung Ramadan, melalui lini Global Zakat-nya, ACT juga menyalurkan amanah zakat ke pelosok negeri. Berbagi kebahagiaan kepada mereka yang tinggal di Kalimantan, Anambas, NTT hingga Papua. Tak lupa, ada bingkisan hari raya bagi pengungsi Rohingya di Duwa Morong, Myanmar. Bingkisan berisi paket pangan itu menjadi semacam kegembiraan besar di tengah keterbatasan hidup pada urusan mendasar: makan. Menariknya, poin penting program ACT yang sekilas hanya memaparkan pemenuhan kebutuhan sesaat tersebut, bisa diwedar sebagai jalan lain urusan kemanusiaan.
Dengan kata lain, urusan kelangsungan hidup (daya tahan) dengan pemenuhan kebutuhan perut, terkata sangat penting; tidak kalah penting dengan urusan pemberdayaan misalnya. Lantaran kata kunci program kemanusiaan adalah adanya hasrat kepedulian kepada sesama. Kehadiran lembaga kemanusiaan dipandang penting sebagai narasi pemetaan pihak-pihak yang sememangnya perlu mendapat bantuan. Pun, juga sebagai langkah pemartabatan kepada pihak papa yang selama ini berstigma sebelah mata. Kita tentu sudah jenuh melihat masih adanya kegiatan amal di mana terjadi mobilisasi atau kerumunan fakir miskin sehingga tak jarang mengakibatkan kericuhan bahkan jatuh korban luka/jiwa.
Islam dengan sedekah/zakatnya merupakan konsepsi paling rasional mengentaskan kemiskinan secara bermartabat. Apa yang telah dilakukan ACT melalui program Beri Ramdhan Terbaik! tersebut, kiranya menjadi titik balik memandang arti lain signifikansi perintah agama berupa berderma. Selain bakal lebih dilipatgandakan pahala dan mendapat aneka keutamaan lain, berderma dari spirit Ramadan yang telah kita jalani sebulan penuh bisa dijadikan langkah awal memetakan kemiskinan beserta cara penanggulangannya. Praktisnya, berderma akan lebih efektif tepat sasaran manakala disalurkan kepada lembaga kemanusiaan yang kompeten nan inovatif.