Faisal Ismail, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, bertungkus lumus mendedah kompleksitas pembahasan bertema pendidikan Islam. Secara rinci, pendidikan Islam dibelah menjadi tiga: pendekatan sejarah, kebijakan yang berkorelasi dengan political will pemerintah (politik), serta keilmuan yang berbicara perihal substansi (kurikulum).
Ada sembilan belas bab yang disajikan dengan mewedarkan ketiga bagian itu secara bersamaan. Diawali dari narasi Nabi Muhammad Saw, yang disebut sebagai peletak dasar politik dan kebijakan pendidikan Islam (h: 19). Basis pada sosok dan perangai luhur beliau adalah titik tolak dan sandaran bagi para generasi selanjutnya dalam mengejawantahkan perkembangan keilmuan yang sembari bertumpu pada keadaban. Nalar dan akhlak sama-sama penting.
 Prof. Faisal mengulik adanya keterkaitan kuat babakan politik sebagai sumbu dengan penggerak kemajuan berupa gairah keilmuan. Tamsil yang dikemukan tak lain tak bukan mengajak pembaca menyusuri romantisme abad ke-7 sampai ke-13 M sebagai The Golden Age of Islam. Luberan karya para cendekia muslim kala itu banyak ditopang oleh partisipasi aktif Negara. Hal ini bisa dilihat salah satunya dari penyediaan perpustakaan agung Bayt Hikmah sebagai tamsil.  Dalam salah satu hikayat, Negara bahkan membarter emas sebagai rangsangan berkarya dengan sebuah karya/buku. Semakin banyak dan tebal buku yang dihasilkan, maka semakin berat pula emas yang bakal diterima penulis/muallif.  Â
Dinamika pesantren
Buku ini juga mendedah konsepsi pendidikan Islam di Indonesia. Bahasan ini pasti menghadirkan wajah pesantren sebagai simbol utama sekaligus kekhasan. Menariknya, diwedarkan implicit oleh penulis bahwa hampir-hampir semua pesantren mampu berdiri sendiri; berdikari tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini berbeda dengan wajah perguruan tinggi Islam negeri dan terutama sekali madrasah. Kedua lembaga itu kerap terstigma dianaktirikan dan menjadi tertinggal ketimbang lembaga pendidikan sejenis lainnya. Padahal Negara sedikit-banyak telah turut langsung ikut berperan; entah dari sisi kurikulum hingga alokasi pendanaan.
Namun, renik-renik itu adalah soal zaman yang bersandar pada kuasa politik berjangka pendek. Buktinya, kini, banyak madrasah telah berpunya laboratorium. Negara juga mendirikan madrasah-madrasah unggulan di pelbagai daerah bersistem asrama. Siswa madrasah digenjot mengakrabi sains dan keikutsertaan pada lomba eksakta tingkat nasional-internasional.Â
Sisi lain, transformasi IAIN menjadi UIN adalah bukti perguruan tinggi negeri yang bercorak keislaman ini mengalami transformasi dalam memandang arah keilmuan dan pergeseran corak zaman. Para mahasiswa tidak sekadar belajar mata kuliah keagamaan, melainkan pihak stakeholders kampus telah membuka diri pada jurusan dan prodi macam Ilmu Sosial, Ilmu Komunikasi, Ilmu Kesehatan, dan lain sebagainya (h: 176).
Di banyak pesantren, kaum santri diajarkan bahasa Inggris dan komputer. Telah banyak pula pesantren membuka diri dengan penyediaan literatur Barat. Gerak zaman juga mengubah wajah pesantren yang dulu terstigma seragam kini mulai beraneka corak. Sebagian pesantren bermetamorfosa menjadi pesantren modern. Embel-embel modern bisa ditilik dari atribut pakaian: berdasi dan bercelana panjang; kurikulum yang mendidik santri sampai tingkatan meninjau ulang teks-teks keagamaan, hingga kemegahan fisik bangunan.
 Kacamata Prof Faisal lantas menajamkan analisis bahwa sebab muasal perubahan wajah konsepsi pendidikan Islam berkait langsung dengan kemajuan tradisi keilmuan Barat yang juga melakukan studi-studi keislaman (h: 289). Pun, datanganya globalisasi, arus masyarakat multikultural, dan kompleksitas sosial-budaya menjadi tantangan  menciptakan aras pendidikan Islam ideal. Dalam konteks inilah, Prof Faisal memberikan tawaran ide berupa perumusan pendidikan keislaman yang berbasis wawasan Pancasila; sebagai arah dan pijakan muslim Indonesia yang senyatanya hidup bersampingan dengan lintas pemeluk agama (h: 278).
Ikhtisar buku ini adalah hakikat pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi pengetahuan: ilmu agama-ilmu sekuler. Juga penolakan kesan pertentangan Islam versus Barat. Lantaran, hal ini merupakan pandangan ahistoris yang sudah "diselesaikan" di era keemasan peradaban Islam seperti yang sudah ditamsilkan Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, serta penerjemahan besar-besaran karya-karya dari kaum cendekia Yunani dan Romawi. Â