Data buku:
Judul: Pendidikan Karakter Sehari-hari
Penulis: Dr. Helmawati
Penerbit: Rosdakarya
Cetakan: Pertama, Agustus 2017
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-446-130-0
Terma Pendidikan Karakter sedang populer pada ranah pendidikan formal Indonesia. Hakikatnya sama dengan pendidikan budi pekerti, yakni pengajaran untuk menjadi seorang beretika. Hampir sama pula dengan istilah revolusi mental; di mana objek revolusi terletak pada mengubah mentalitas buruk ke arah laku positif. Titik perbedaan pendidikan karakter dan revolusi mental terletak pada tempo atau masa waktu yang mesti ditempuh. Revolusi mental mengandaikan pengubahan karakter manusia dilakukan dengan sangat cepat.Â
Sementara pendidikan karakter, diakui sendiri oleh Helmawati selaku penganggit buku, tidak bisa dilakukan secara revolusioner. Melainkan membutuhkan waktu cukup lama. Lantaran karakter atau perangai adalah semacam kebiasaan yang sudah mematri dalam sanubari pada saban orang. Mengubah sikap menunda-nunda pekerjaan atau malas bangun pagi tidak bisa sekonyong-konyong dilakukan dengan cara-cara keras dan paksaan. Kerap cara demikian hanya efektif untuk sementara saja dan setelah itu kembali pada karakter dasar. Karena itu, mentalitas buruk  bisa diubah idealnya secara bertahap, perlahan, dan sistematis.
Sedari awal, penulis memberikan simpulan apik bahwa ejawantah pendidikan karakter bakal efektif dan bisa terlaksana baik dengan menempatkan keteladanan sebagai kunci. Tanpa keteladanan, pendidikan karakter sekadar simbol-simbol dan praktik hidup mulia yang pura-pura. Pendidikan karakter dalam aras muasalnya menuntut kejujuran sikap yang berangkat tulus dari sanubari. Bukan dipaksakan atau apalagi semacam bagian dari suatu kepentingan politik pragmatis.
Konten buku di babakan awal, menyasar kalangan usia sekolah. Di fase inilah, mereka berada di wadah candradimuka sebagai tempat gemblengan mental dan pengembangan pengetahuan. Optimalisasi pendidikan karakter yang secara praksis bakal sangat ideal dimasukkan dalam dunia formal bernama sekolah. Usia sekolah terutama sekali sekolah dasar merupakan masa ideal dan terkira lebih mudah untuk mematri dan menhunjamkan nilai-nilai keadaban hidup. Secara sederhana, buku ini bisa menjadi buku pengayaan dan panduan mewujudkan pendidikan karakter.
Menilik mendalam, buku ini juga menibakan pesan tersirat bahwa buku juga menyasar kalangan guru dan orangtua. Paparan di atas dengan jelas menyibak bahwa pendidikan karakter menuntut adanya keteladanan. Alhasil, orangtua di rumah dan guru di sekolah mesti terlebih dahulu memberikan kesamaan antara ucap dan laku kepada anak dan siswa. Â Omong kosong apabila orangtua mengajarkan anak-anaknya untuk saling mengasihi dan menyayangi sementara mereka melihat orangtua sering bertengkar.
Pun, siswa bakal apatis kala sanksi atas pelanggaran aturan sekolah hanya ditujukan kepada mereka. Sedangkan guru sebagai pembuat aturan justru menjadi aktor pelanggaran tata tertib sekolah. Siswa dilarang merokok dan mendapat sanksi keras apabila melanggarnya. Tapi, di saat bersamaan mereka melihat sebagian guru dengan penuh kenikmatan merokok di lingkungan sekolah dengan tiadanya pemberian sanksi apapun. Bila demikian, pendidikan karakter di sekolah terkatakan percuma.
Buku juga mengupas praktik-praktik pendidikan karakter di masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan karakter diharapkan muncul dari kesadaran masing-masing individu. Lantaran  pada titik kulminasi usia dewasa; secara naluri, para orangtua dituntut atau dipaksa menjadi teladan bagi kalangan muda. Oleh Helmawati, pendidikan karakter dalam lingkup interaksi di masyarakat di antaranya: menjalin keakraban dengan tetangga dengan semisal saling memberi hidangan makanan (hlm: 123). Urgensi mengakrabi tetangga menjadi penting lantaran dewasa kini, fenomena tidak mengetahui nama tetangga seakan menjadi kelumrahan.
Pendidikan karakter diperlukan guna menopang dan sebagai pondasi dari sikap hanya mengunggulkan pendidikan kognitif yang tidak jarang menghasilkan anomali keadaban kehidupan. Secara implisit, buku juga menyasar kalangan pejabat dan pemangku kepentingan sebagai bentuk introspeksi dari laku culas dan korup. Pendidikan karakter tidak semata tertuju anak-anak usia sekolah dengan ceramah di ruang kelas. Tapi hakikatnya justru lebih tepat ditujukan kepada kalangan elite atau pemimpin negeri ini agar senantiasa jujur dan bersahaja untuk kemudian bisa dijadikan teladan bagi rakyat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H