Dari jauh aku sudah bisa mendengar suaranya. Berdencit ketika mengerem, berirama ketika berjalan. Sosoknya begitu gagah bagiku walaupun jalan hidupnya sehari-hari harus mengikuti prosedur yang begitu ketat, di atas rel. Belum lagi dia tidak bisa berhenti di sembarang tempat seperti yang banyak dilakukan oleh saudara seperjuangannya, angkot. Ya dia adalah kereta, sebuah sosok yang menurutku (waktu itu) luar biasa gagah. Mencengkram rel. Menghardik siapa saja yang menghalangi jalannya.
Umurku baru 5 tahun saat itu, saat dimana pertama kali aku melihat dia. Seperti layaknya pemuda yang melihat kecantikan seorang gadis, akupun langsung jatuh cinta. Ingin sekali aku berkeliling dunia dengan kereta. Mengunjungi dinginnya Moskow, romantisme Venezia, kecantikan Paris, keunikan Istambul, historisnya Alexandria, sampai misteriusnya Tibet. Ya namanya juga anak kecil, aku yang begitu polos “dicekoki” dongeng dan legenda dari negeri seberang.
Ibuku begitu pengertian dan cerdas menurutku walaupun terkadang saat ini aku merasa sedikit “tertipu”. Melihat “jagoan”-nya ini begitu tertarik dengan benda satu ini, beliau sering mengajak jalan-jalan ke daerah Kota menggunakan KRL. Terkadang aku merengek agar bisa terus naik kereta, tak mau lepas. Beliau hanya berbisik, “Nanti kalau kamu dapat rangking di kelas ketika SD, ibu ajak kamu jalan-jalan lagi naik kereta ya ”. Hahahahaha ini yang aku bilang aku “ditipu” dalam artian positif.
Akhirnya aku berhasil mewujudkan keinginanku untuk jalan-jalan dengan kereta KRL sekali lagi. Sudah terasa lama sekali, saat itu aku sudah kelas 2 SD. Buah hasil dari usaha mendapatkan rangking ke – 7. Sebuah pencapaian yang butuh perjuangan. Bagaimana tidak, aku baru bisa membaca ketika masuk kelas 2 SD.
(Di kereta itu, saat itu, saat umurku 7 tahun, aku berdiri menghadap ke arah luar memandangi jejeran sawah dan rumah-rumah kumuh)
Tahun berganti, ritual itu tak pernah terputus sampai aku menginjak kelas 6 SD. Aku selalu berhasil meraih rangking di kelas. Mula-mula angka 7 sampai pada angka 2 di akhirnya. Hadiahku hanya satu, JALAN-JALAN NAIK KERETA.
(Di kereta itu, saat itu, saat umurku 11 tahun, aku berdiri menghadap ke arah luar memandangi jajaran gedung dan masih rumah-rumah kumuh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H