Aku duduk di sebuah kantin, sendiri tentu saja. Rasanya tepat sekali waktu itu aku gunakan untuk mencari kebijakan-kebijakan tersembunyi. Mungkin dibalik tawa keras para pegawai itu atau mungkin saja dari senyuman seorang pelayan kepada pelanggannya. Rasanya aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. Seandainya bisa, tugas ini pastilah akan lebih mudah. ” Hmm sudahlah ji, lagi-lagi kau terus berkhayal!”, Begitu pikirku menimpali. “Kalau kau bukan bagian dari diriku, pastilah sudah kutelan hidup-hidup”.
Hmm waktu menunjukkanpukul 6 sore. Rasanya ingin pulang tapi entah mengapa aku merasa momen seperti ini jarang terjadi. Akhirnya aku mengalah, aku mundurkan jam kepulanganku tapi entah kapan. Tawa mereka semakin meledak dan pelayan itu tidak lagi tersenyum. Aku coba menerka, pasti pelayan itu salah mengembalikan kembalian.
Seorang ibu, penjual makanan, memanggilku. Aku terkadang membeli beberapa jenis makanan di tempatnya ketika istirahat siang tapi aku yakin dia tidak tahu namaku dan akupun juga. Dari matanya, warna kulitnya, cara berbicaranya, dan semangatnya dapat kupastikan bahwa dia adalah seorang keturunan, istilah halus orang Indonesia untuk menyebut warga keturunan Cina. Aku balas dengan senyuman, agak ragu akhirnya aku menghampirinya.
Tanpa basa-basi dia mengajak aku berbincang, tentang Tibet di atap dunia, tentang gereja St. Peter di Vatikan, tentang Ka’bah di Mekah, tentang sang Budha, tentang Shinto di Jepang, Kejawen sampai aliran-aliran yang aku bahkan baru dengar namanya. Seru sekali momen seperti ini, perbincangan seperti ini, memandang tanpa mengenal batasan SARA yang biasanya selalu dihindari. Ibu ini begitu cerdas, menjadi penonton tidak berpihak, memilih kata untuk mengungkapkan pikirannya tanpa takut orang lain tersinggung hehe walaupun aku tahu hanya aku yang mendengarkannya. Aku menggeser posisi duduk, mencari posisi yang lebih nyaman. Sesekali dia terbatuk dan akupun spontan menutup hidungku. “Maaf”, Katanya sembari memegang lehernya.
Dari ribuan kata yang telah terucap, aku mencoba mengambil kesimpulan. Tidak terdengar sekalipun kata-kata negatif. Semuanya membuatku semangat, selalu menempatkan rasa positif di tempat tertinggi. “Hebat betul ibu ini”, Pikirku sambil mencoba menghilangkan rasa aroganku sebagai seorang akademisi terhadap seorang ibu yang “hanya” seorang penjual makanan dan “katanya” tidak lebih baik dari seorang polisi di negeri ini. Aku tidak merasa diceramahi tapi aku juga tidak bisa membantah apa yang dia katakan, semuanya nyaris sempurna.
Sudah pukul 7 malam. Ibu itu pamit, membereskan dagangannya bersama seorang pembantunya. Aku masih duduk di kursi yang sama hanya kali ini posisi dudukkutidak serileks awal. Aku sudah lelah tapi tidak dengan otakku. Ribuan tanya, ribuan gambaran, dan ribuan persepsi bercampur satu. Aku pikir sudah saatnya aku menarik diri dan menutupnya dengan kesimpulan.
Mereka para pendahulu kita tentunya sadar kekuatan pikiran positif dalam kehidupan ini. Ribuan kitab tertulis. Ratusan “utusan” dikirim. Semuanya menuju satu kesimpulan kekuatan tersebut, terlepas dari intrik-intrik didalamnya, semuanya sama. Tidak ada ego disana, semuanya tertutup keinginan untuk membentuk manusia yang lebih baik, lebih beradab.
Aku menendang pelan kerikil di depanku. Kerikil itu jauh terpental. Aku puas kerikil itu jauh sekali disana. Sejauh pikiranku memandang dan mengambil kesimpulan. Aku bahkan lupa menanyakan apa kepercayaan yang dianut oleh ibu itu. Aku coba menebak dan gagal. Semua alasan yang terkumpul tak pernah bisa menuju jawaban justru tanya berkecamuk kembali. Ya sudahlah, itu semua ternyata tidak penting. Aku telah mendapatkan yang lebih penting dari sekedar keterangan yang selalu tertulis besar di KTP. Oia aku juga lupa mengucapkan terima kasih, mungkin besok, kalau masih ada kesempatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H