Yogyakarta - "Ketika angin berubah arah, nelayan yang bijak menyesuaikan layar." Pepatah ini seolah menjadi gambaran perjuangan Ibu Dewi, seorang tukang pijat tradisional di kawasan Malioboro, Yogyakarta, yang berinovasi untuk bertahan di tengah era digital yang penuh tantangan. Ibu Dewi telah lama mengabdikan dirinya sebagai tukang pijat di sekitar Malioboro. Pelanggannya datang dari berbagai kota, bahkan ada yang sengaja kembali ke Jogja hanya untuk menikmati sentuhan lembutnya. "Saya nggak pakai aplikasi atau apa-apa, cuma nomor telepon saja. Tapi alhamdulillah pelanggan tetap sering datang lagi, bahkan ada yang tetap menyimpan nomor saya, dan rekannya juga datang untuk pijat dengan saya" ungkapnya saat ditemui di sela-sela pekerjaannya.
Meskipun teknologi semakin maju, Ibu Dewi mengatakan ia memilih untuk tetap berkomunikasi secara sederhana. Ia mengandalkan layanan telepon biasa untuk menjalin hubungan dengan pelanggannya. Hal ini membuatnya tetap dekat dengan pelanggan, terutama mereka yang lebih nyaman dengan pendekatan personal. "Saya lebih suka seperti ini, karena rasanya lebih dekat. Kalau lewat aplikasi, rasanya terlalu formal," tambahnya.
Namun, perjuangan Ibu Dewi tidak selalu mulus. Beberapa waktu lalu, ia bersama rekan-rekan seprofesinya menghadapi hambatan besar ketika UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kota Jogja memberikan peringatan keras. Sebagian besar tukang pijat di kawasan itu, termasuk Ibu Dewi, diminta untuk meninggalkan lokasi demi penataan kawasan. "Saya paham kalau Malioboro harus lebih rapi, tetapi saya bekerja dengan hati, dan para pelanggan saya merasa nyaman dengan layanan ini," ujar Ibu Dewi, dengan nada lirih namun tegas. Pelanggan Ibu Dewi bukanlah sembarang orang. Banyak dari mereka adalah wisatawan luar kota yang rela kembali hanya untuk menikmati pijatan khasnya. Bahkan, beberapa di antaranya telah menyimpan nomor teleponnya untuk memastikan mereka dapat memesan jasanya setiap kali berada di Jogja. "Sedih rasanya. Tempat ini sudah seperti rumah kedua saya. Tapi saya paham, mungkin ada aturan yang harus dipatuhi," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski menghadapi tekanan dari pihak pengelola kawasan, Ibu Dewi tetap optimis. Ia percaya bahwa keberadaannya di Malioboro bukan hanya soal bisnis, tetapi juga tentang melestarikan tradisi dan memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Baginya, tantangan ini adalah peluang untuk menemukan cara baru dalam menjalankan profesinya.
Keberhasilan Ibu Dewi dalam mempertahankan pelanggannya pun terletak pada kualitas pelayanan yang konsisten. Salah satu pelanggannya, Yuli dari Surabaya, berbagi cerita tentang pengalamannya. "Ibu Dewi itu bukan sekadar tukang pijat. Dia mendengarkan keluhan kita, bahkan sering memberi saran. Saya selalu merasa lebih baik setelah dipijat olehnya," kata Yuli.
Bagi Ibu Dewi, sentuhan tangan saja tidak cukup. Ia percaya bahwa pelayanan dengan hati adalah kunci utama. "Orang-orang itu capek bukan cuma badan, tapi juga pikiran. Jadi saya selalu usahakan mereka merasa nyaman dan tenang," jelasnya.
Meski awalnya enggan, Ibu Dewi mulai mempertimbangkan inovasi untuk bertahan di era digital. Ia kini tengah berdiskusi dengan kerabatnya untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. "Saya nggak terlalu paham teknologi, tapi mungkin kalau ada anak atau keponakan yang bisa bantu, saya akan coba," katanya sambil tersenyum.
Langkah ini bukan hanya untuk menjangkau pelanggan baru, tetapi juga untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Di kawasan Malioboro, mulai banyak tukang pijat yang beralih menggunakan aplikasi berbasis layanan pijat online. Meskipun demikian, Ibu Dewi yakin bahwa loyalitas pelanggannya tetap menjadi kekuatan utama. Ibu Dewi adalah bukti nyata bahwa ketulusan dan kerja keras dapat menghadapi segala tantangan, bahkan di tengah perubahan besar. Kisahnya mengajarkan bahwa inovasi tidak harus meninggalkan akar tradisi. Dengan pendekatan personal yang penuh kehangatan, ia mampu menciptakan hubungan yang bermakna dengan pelanggannya.
Seperti ungkapan Jawa yang sering ia gunakan, "Alon-alon wae asal kelakon" (pelan-pelan saja asal tercapai), Ibu Dewi percaya bahwa perubahan itu memerlukan waktu dan kesabaran. Meski tantangan terus menghadang, ia tetap yakin pada satu hal: pelayanan dengan hati tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Kisah Ibu Dewi adalah bukti bahwa adaptasi dan semangat pantang menyerah adalah kunci untuk bertahan di tengah perubahan. Ia tidak hanya mampu menghadapi tantangan era digital, tetapi juga berhasil menginspirasi orang lain untuk terus berinovasi tanpa melupakan akar tradisional.