Di sebuah beranda hati, ketika pagi membuka hari. Aku menyaksikan sepi yang lama, mengembara sebelum cahaya mentari menembus cakrawala.
Pada mata yang rapuh, seorang bocah bertutur pedih terlampau riuh. Dari debu kelabu, mengisyaratkan terlalu.
Jari mungil itu mengucek-ucek berulang kali lalu berhenti setelah ibunya meniupkan cerita, kemudian sengaja memelankan suara.
Baca juga: Di Sela Kemarau
Yang tak bisa dipahami, beginikah cara terbaik menikmati sunyi? Ketika ternyata, kenangan masih enggan berdamai di kepala.
Terkesima oleh rindu sama eloknya dengan menikmati kepedihan yang begitu. Tetapi segala adalah hadiah dari Tuhan, dan tak terbantahkan.
Sumedang, 22 Oktober 2024
Baca juga: Seseorang, Pikiran, dan Hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H Baca juga: Bisakah Kita?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!