Pada saat ini banyak sekali laporan dari beberapa ahli bahasa atau pun umum yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia pada saat ini sedang banyak dipelajari oleh orang asing. Seperti laporan terbaru yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (2009) yang menerangkan bahwa:
di Indonesia, empat puluh lima perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menyelenggarakan Program Darmasiswa. Program tersebut merupakan program pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing yang diselenggarakan oleh pemerintah RI, khususnya Biro Kerja sama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional. Program Darmasiswa berjalan sejak tahun 2005 dengan peserta dari seratus sepuluh negara dari lima benua (Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika).
Laporan mengenai banyaknya orang yang tertarik untuk mempelajari bahasa kita memang bukanlah isapan jempol karena saya beruntung dapat menyaksikan sendiri betapa tertariknya penutur asing yang sungguh-sungguh ingin mempelajari bahasa Indonesia.
Sewaktu saya menyelesaikan tugas akhir skripsi saya beberapa bulan yang lalu tentang pengembangan tes keterampilan menyimak bagi penutur asing, salah seorang objek penelitian saya yang berasal dari Korea Selatan meminta saya untuk dapat mengajarinya. Tentu saja saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung menerima tawaran tersebut.
Dalam kegiatan pembelajaran maupun pergaulan sehari-hari, terlihat sekali bahwa ia sungguh-sungguh ingin mempelajari bahasa Indonesia. Sedapat mungkinia menggunakan bahasa Indonesia di setiap percakapan dengan saya maupun dengan temannya yang juga berasal dari Korea, meskipun seringkali ia harus membolak-balikkan kamus untuk mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu sungguh membuat saya kagum sekaligus malu. Saya malu terhadap diri saya sendiri karena kecintaan saya akan bahasa Indonesia ternyata sangatlah jauh lebih rendah dari kecintaan teman saya dari Korea tersebut. Ia dengan bangganya selalu menggunakan bahasa Indonesia di setiap percakapan dan mempelajari bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, sering kali saya malu menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, demi tertempelnya predikat sebagai orang Indonesia yang tidak ketinggalan zaman, saya sering kali menggunakan bahasa Jakarta atau pun Alay di setiap percakapan maupun dalam situasi formal.
Selain itu, terdapat hal menarik lain yang dapat saya pelajari dari pembelajaran yang saya lakukan dengannya yakni pandangannya terhadap bahasa Alay yang saya semula anggap keren. Ternyata menurutnya, bahasa Alay itu adalah bahasa yang “aneh” karena selain memiliki arti yang sangat jauh bahkan tidak ada dalam kamus, yang ia anehkan adalah kelahiran bahasa Alay tersebut. Lalu saya pun menjelaskan bahwa pada saat ini memang banyak remaja Indonesia yang menciptakan bahasa mereka sendiri untuk mencirikan status mereka. Penjelasan saya tersebut ternyata memancing pertanyaannya kembali yang cukup membuat saya terhentak. Ia pun bertanya, “mengapa remaja membuat bahasa sendiri, apa mereka tidak mencintai bahasa nasionalnya? Karena di Korea semua orang menggunakan bahasa Korea dari mulai anak-anak sampai orang tua karena kami sangat mencintai dan bangga akan bahasa nasional kami”.
Daftar Bacaan:
Kementerian Pendidikan Nasional. 2009. Upacara Penutupan Program Darmasiswa Tahun 2008/2009. 28 Mei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H