Mohon tunggu...
Bajank Kirek
Bajank Kirek Mohon Tunggu... OFFICE BOY

Ayah Muda Keren Bikin Gemes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Saya Miskin Semua Menjauh dan Berpaling

10 April 2010   12:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52 3960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika aku jatuh miskin, orang-orang menjauhiku. Tidak juga saudara, juga teman-teman. Bahkan, mereka yang dulu pun aku bantu, saat aku susah mana mau singgah ke rumahku. Kompasiana bukan reality show, tapi inilah reality hidupku. Saat aku bahagia diangkat jadi Reporter, saat itu juga ada khabar duka Ibuku sakit keras.

Saya menengoknya. Ibuku menangis, merangkulku, dan seperti anak kecil tak mau dilepaskan. Dulu, Ibuku adalah wanita perkasa, dan kini...? Tubuhnya lemah tak berdaya, rambutnya memutih dan tak lagi punya gigi. Sakit darah tinggi Ibuku naik. Dan harus diobati. Tapi, saya nggak punya uang dan saya harus berhutang.

Apa terjadi kemudian, saya datangi sodara, namanya Tohar, saya ingat dulu, saat keluargaku masih mapan dan punya tabungan cukup sempat menghiba-hiba meminjam uang untuk biaya ujian akhir semester. Dipinjem sodara saya pun dengan ikhlas tanpa riya meminjamkannya sejuta. Belum lagi saat akan wisuda, dulu malah Tohar sempat ke kos-kosanku untuk sekedar tidur bersama istrinya dan satu anaknya, demi mengirit uang ngamar di hotel. Lantas saya demi sodara rela tidur di tempat kos-kosan teman.

Tapi kini saat saya datang, rumahnya yang kaya, di garasinya ada mobil, yang menemui Istrinya, Tohar nggak ada di rumah. Tapi, bodoh, saya mendengar batuk khas-nya dari dalam kamar. Saya tahu, Sodaraku, kau ada tapi tak mau menemuiku. Tahu, saya datang pasti ujung-ujungnya untuk berhutang.

Saya tak kenal menyerah, walau tipis harapan saya datangi semua saudara, juga sepupuku yang dulu diasuh Ibu. Dulu, Ibu saat mampu memang pernah menjadi anak asuh 8 anak kakaknya yang ditinggal mati suaminya. Dibesarkan, disekolahkan! Dan apa hasilnya? Setelah mereka jadi orang, punya rumah punya mobil, semua menghela napas saat kuminta bantuan dan mengangkat bahu. Tidak bisa meminjamkan uang.

Tak apa. Saya masih punya satu yang tidak pernah lupa saya. Dia, Tuhanku, yang tidak pernah lupa saya! Tengah malam saya berdoa, saya menangis. Karena bahkan saat Ibu sakit pun sebagai anak satu-satunya tak bisa membantunya! Untuk sekedar ongkos dokter, belum untuk menebus resep! Selesai sholat saya tidur bersama Ibu yang merintih, saya dikeloninya kayak dulu saat kecil tidur bersama Ibuku.

Paginya, saat saya beli bubur, dengan sepeda motor pinjaman di tengah jalan ada yang menyetopku. Orang China yang butuh tumpangan, minta diantar ke bengkel. Mobilnya macet di jalan dan dia minta diantar ke bengkel yang pemiliknya adalah temannya. Saya nggak pikir panjang menolongnya, dan tahukah apa yang Orang China itu lakukan saat sudah sampai ke bengkel...? Dia menaruh uang di sakuku, yang walaupun sudah saya tolak tetap saja dipaksakan masuk.

Uang itu 50.000. Oh, Tuhan walau sedikit menurut Orang China itu, tapi buat saya unag itu bisa buat Ibuku periksa ke mantri di Kampung. 20.000 untuk ongkos periksa, dan 20.000 untuk resep obat racikan. Saya ingin menangis, tapi tidak! Kompasiana bukan Reality Show! Saya tidak akan menjual kesedihan dan kemiskinan saya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun