Hari Minggu pagi. Saya duduk menunggu waktu. Denting piano cemerlang memecah hening. Mesin pengatur suhu menyembur angin dingin yang terlalu. Seperti bukan di Jakarta saja.
Selesai menyanyi beberapa lagu, Pendeta RG naik ke podium bergantian dengan pemimpin pujian. Ia berjas hitam rapi seperti biasa. Wajah orientalnya mungil. Bulat kepalanya proporsional dengan tubuh ukuran sedangnya. Kaca mata bikin matanya tampak lebih kecil.
Selamat pagi, sapanya.
Saya menjawab dalam hati sambil berspekulasi. Kisah apa yang akan dilemparnya sebagai pembuka khotbah?
Hening setelah selamat pagi. Begitulah kebiasaannya. Mencipta ruang tunggu di hati jemaat.
Seorang remaja empat belas tahun membunuh ayah, ibu, kakek. Ayah dan kakek terbunuh, ibu kabur. Ia membunuh ayahnya dengan menikamkan pisau ke tubuh ayah berkali-kali. Sampai mati. Dari mana dia punya kekuatan tega seperti itu? Ia membunuh kakeknya yang lebih lemah secara fisik daripada ayahnya. Dan ibunya, berhasil kabur. Kabur dengan hati hancur. Bagaimana cara ibu kabur tidak disebutkan dalam berita.
Itu pengantar khotbah Pendeta RG.
Saya menarik napas panjang dan menahannya. Beberapa hari lalu saya mendengar berita tentang remaja membunuh ayah ibu kakek di televisi. Saya bisa mengikuti apa yang dikatakan Pendeta RG.
Bagaimana perasaan seorang ibu ketika anaknya sendiri berusaha membunuhnya? Anak yang ditimang-disayang sejak kecil. Ibu-ibu di sini, bisa membayangkan itu terjadi?
Sunyi di antara jemaat. Saya berusaha membayangkan. Aduh, sedihnya. Duka yang tak terperi.
Mau apa kita ini, tanya pendeta RG. Apakah si remaja ini seorang yang ansosper (anti sosial pergaulan) sehingga tega melakukan hal yang mengerikan itu?