Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenang Joko Pinurbo

27 April 2024   21:33 Diperbarui: 27 April 2024   21:40 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

(11 Mei 1962-27 April 2024)

Mas Radhar Panca Dahana almarhum kagum betul kepada Joko Pinurbo. Apa pasal? Karena pada suatu hari mereka berjumpa, Joko Pinurbo menafsir satu puisi Mas Radhar, dan benar. 

Hebat dia, baru dia yang tahu makna puisi itu, ucap Mas Radhar. 

Pada satu masa saya bekerja di majalah Femina (2003-2008). Waktu itu bulan Februari, dan saya sedang menangani produk Molto. Molto akan meluncurkan produk baru di bulan Valentine dan ingin dibuatkan advertorial dengan satu puisi di dalamnya. Penulis puisinya, boleh siapa saja. 

Siapa ya, pikir saya.  

Nama Jokpin sedang naik daun. Saya kontak beliau, bertanya apakah berkenan membuat puisi untuk tampil bersama brand Molto. Mas Jokpin setuju. Dalam jangka waktu beberapa hari beliau mengirim hasilnya: Puisi Merah Jambu. Kami belum pernah jumpa. 

Sekali waktu saya diundang ke festival sastra di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Di desa itu banyak sekali mata air, dan airnya berbual-bual. Saya dan Mas Joko Pinurbo, dalam acara santai, bersama penyair Makassar Aan Mansyur, menjadi narasumber, berbicara tentang pengaruh kota (kelahiran) dalam berkarya. 

Aan Mansyur berkisah kekayaan memorinya tentang kota Makassar, dalam puisi-puisinya. Sementara saya dan Jokpin --ternyata kota kelahiran kami sama, di Sukabumi - tidak terlalu terbawa sentimental kota (kelahiran) dalam karya. 

Beberapa bulan lalu saya mendengar Joko Pinurbo sakit. Cukup lama juga. Dari status beberapa kawan penulis dan penyair di media sosial mereka, saya mengetahui kedaan Jokpin. Mereka menengoknya ke kediamannya di Yogya. 

Dan hari ini, di satu WAG, pagi saya membaca kabar tentang berpulangnya Jokpin. Dan saya mengenang segala kenangan tentangnya.  

Puisi-puisinya yang sederhana dan bersih, dan kedalaman yang bikin tercenung, puisi yang berima dan bermain, getir dan jenaka. Puisi-puisi yang khas dirinya.

Berikut salah satu puisinya yang pertama kali saya membaca, ingat terus, dan tetap berhasil membuat saya tersenyumgeli karena kejenakaan dan kepekaan perasaannya.   

Celana Ibu

 

MARIA sangat sedih

menyaksikan anaknya

mati di kayu salib tanpa celana

dan hanya berbalutkan sobekan jubah

yang berlumuran darah.

 

Ketika tiga hari kemudian

Yesus bangkit dari mati,

pagi-pagi sekali Maria datang

ke kubur anaknya itu, membawa

celana yang dijahitnya sendiri

dan meminta Yesus mencobanya.

 

"Paskah?" tanya Maria.

"Pas!" jawab Yesus gembira.

 

Mengenakan celana buatan ibunya,

Yesus naik ke surga.

2004

Selamat jalan, Penyair. Tuhan memelukmu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun