Teman saya asal Solo akan berlibur ke Balige bersama istri dan dua anak remaja mereka.Â
Tolong atur agenda asyik buat kami, ya, katanya.
Hmm,... saya pikir-pikir, wisata berkapal ke beberapa spot  seputaran Danau Toba, akan menarik. Ini adalah pengalaman pertama mereka berjumpa Danau Toba.
Mereka menginap di Mutiara Balige Hotel. Dan hotel itu memiliki fasilitas kapal cepat berkapasitas 6 orang, untuk disewa.
Teman saya dan keluarga tiba di bandara Silangit pukul 8 pagi. Dari sana berkendara ke Hotel sekitar 45 menit.Â
Kapal sudah dipesan. Pukul 10 kami sudah di kapal. Kusnandi, operator kapal, membagikan pelampung jingga untuk kami kenakan. Ia sudah mengisi penuh 3 tank bahan bakar, masing-masing berkapasitas 25 liter.
Supaya ajeg 6 orang, saya mengajak Grace, seorang kawan. Menurut Kusnandi, bila penumpang lebih dari 6 orang, berpengaruh pada laju kapal.Â
Pukul 10 kapal meninggalkan dermaga hotel. Permukaan danau tenang. Udara bersih. Langit di atas putih tertutup awan.Â
"Malah enak cuaca begini. Adem. Kalau siang matahari terik, panas juga," ujar Kusnandi tertawa.
Kapal cepat modern ini masih gres, baru beroperasi satu tahun. Kecepatannya 6 knot per jam alias 11 kph. Kusnandi menetapkan laju di 5 knot. Posisi duduk 2 orang di depan kemudi dan 4 di belakang. Saya duduk di samping operator karena ingin sekaligus bertanya-tanya.
Destinasi pertama kami Dapdap, penginapan eksotis di tepi Danau. Di sini ada rumah pohon, bila tertarik penumpang bisa turun dan menjajal naik ke rumah pohon.Â
Menuju ke Dapdap, kami melewati Hotel Tara Bunga, hotel indah perintis pariwisata milik Jenderal TB Silalahi, yang sangat terkenal tahun 80-an. Kami juga melewati rumah keluarga dalam film Ngeri-Ngeri Sedap.
Berikutnya kapal menuju pantai Pangkodian, lalu pantai Meat tempat desa tenun. Pantai yang berdekatan ini berpasir putih.Â
Tujuan berikutnya air terjun Situmurun. Air terjun ini setinggi 70 meter dan tujuh tingkat air.Â
Kami tiba di sana, sudah ada tiga kapal ferry merapat.  Suara gembira terasa diakibatkan air terjun deras dan kencang. Kami mesti sedikit berteriak untuk berbicara. Angin membawa percikan air ke wajah kami. Satu dua pengunjung  berenang berpelampung di dekat jatuhnya air. Kami mengambil beberapa foto dan video, lalu pergi.
Air danau tenang. Langit masih berawan. Kapal cepat kami melewati rombongan eceng gondok yang terlepas dan terbawa arus ombak ke tengah danau. Sesekali Kusnandi memutar kemudi yang memainkan air terciprat ke dalam kapal. Kami tertawa. Berada di tengah danau yang serupa laut itu, dada berkembang, terasa lepas dan bebas. Sesekali kami berpapasan dengan ferry.
Destinasi berikutnya desa eko Silimalombu di pulau Samosir. Saya sudah reservasi untuk makan siang di homestay milik Ratna Gultom dan Thomas Heinsle ini. Mereka mengelola tanah dan kebun dengan cara permakultur. Sekali tanam panen selamanya.Â
Di desa ini ada beragam pohon buah-buahan lain, dan sayuran. Ayam dan bebek dipelihara untuk diambil telurnya. Tempat ini cukup dikenal karena telah banyak menginspirasi orang melakukan hal sama. Tahun 2020, ketika Ratu Maxima dari Belanda berkunjung ke Indonesia, pun mampir ke homestay ini.Â
Homestay Silimalombu penuh orang. Sekitar 20 pengunjung sudah di sana untuk makan siang. Ini kunjungan saya ke sekian kali.
Kami tiba disambut minuman segar jus mangga. Desa memang punya kebun mangga yang berusia ratusan tahun. Pohonnya tinggi namun buahnya kecil. Konon Samosir tiap tahun kelebihan panen 4 ton mangga tiap hari, pada masa panen.
Dan wow ... menu makan siang itu sangat beragam. Ikan mas goreng, Â panggang dan arsik (pepes ikan khas Batak Toba), labu kuning panggang berlumur minyak zaitun garam merica, salad hijau segar -jipang, daun singkong tumbuk masak santan, ketimun, daun kenikir-, lobster, pizza andaliman, telur bebek dadar sayur, spagethi dan saus tomat, beragam sambal dan saus, dan nasi tentu saja.
Sebagai penutup disajikan apel yang bukan apel, yaitu jipang muda kuah biji markisa. Krispi dan manis. Mango wine -fermentasi mangga, di sloki-sloki tersedia bagi yang ingin mencicip. Ada juga air teh daun markisa panas. Setandan pisang raja tergantung di tengah ruang.Â
"Selamat datang di desa eko Silimalombu. Makanan yang disajikan di sini semua segar, diambil langsung dari pohonnya, ikan diambil dari danau. Tidak memakai bumbu penyedap atau MSG." Seorang gadis yang melayani di sana menjelaskan fasilitas desa eko Silimalombu sementara kami makan.
Perut penuh. Kami pun pamit. Berikutnya tujuan kami ke Tomok. Kapal merapat di dermaga milik warga. Masuk dengan membayar Rp2000 per kepala dan biaya parkir kapal Rp10ribu.
Di Tomok kami melihat makam Raja Sidabutar, menonton tari Sigale-gale, melewati toko-toko yang berjualan pakaian, ulos dan tenun Batak, ukiran kayu dan bermacam suvenir lain.Â
Kami kembali ke kapal, air danau bergejolak. Karena ukuran kapal kami kecil, goyangan kapal sangat terasa. Meski Kusnandi berkata ombak seperti itu hal biasa, tapi kami, karena tak biasa, khawatir.
Langit masih tertutup awan putih. Sebagian menghitam seperti hendak hujan. Karena penampilan awan seperti itu, kami memutuskan untuk kembali ke Balige. Sedianya kami akan ke Tuktuk, desa turis dengan puluhan hotel dan resto bagus, yang kerap disebut Ubud-nya Toba, yang hanya 5 menit dari Tomok.
Ombak masih asyik bermain-main. Kusnandi memelankan laju kapal. Goyangan kapal terasa. Air lebih sering muncrat ke dalam kapal. Kami tak banyak komentar, memperhatikan suasana.
"Kalau ombak seperti ini, sebaiknya jalan pelan tapi tidak terlalu pelan karena air bisa masuk ke kapal," ujar Kusnandi tenang.
Kapal cepat modern ini memberi informasi lengkap. Di layar ada penjelasan titik kapal dan destinasi yang akan dituju. Layar juga menjelaskan kedalaman danau. Di tengah pada umumnya kedalaman danau sekitar 1000-1100 meter. Yang saya tahu selama ini kedalaman danau Toba adalah 500 meter, meski belum pernah seorang pun menyelam hingg ke dasar karena beratnya tekanan air.
Panjang danau Toba  100 km, dari ujung ke ujung. Lebar 30 km. Ini sungguh-sungguh luas. Saya ingat, Jakarta-Bogor saja hanya berjarak 60 km, via tol jagorawi. Danau Toba jauh lebih panjang. Tiga kali ukuran negara Singapura.
Dalam perjalanan pulang, awan lebih rendah dan berwarna lebih gelap. Kami berdoa hujan tidak turun selama di atas danau.
"Satu jaman balik ke Balige," ujar Kusnandi, menjawab pertanyaan kawan saya.
Perjalanan pulang ini terasa sunyi. Tidak berjumpa kapal atau ferry. Kami melewati keramba jaring apung milik Aquafarm yang luas, keramba yang menjadi salah satu penyebab polusi air danau Toba. Berton-ton makanan/pelet dan kotoran ikan tertimbun ke dasar danau setiap hari. Pada waktu-waktu tertentu, karena situasi alam, air danau akan menaikkan kotoran itu ke permukaan.Â
Dua remaja sekarang duduk di depan tertawa-tawa menyaksikan ibu mereka, yang berwajah khawatir dengan kelincahan ombak menggoyang kapal. Grace dan kawan saya di belakang, saling diam sambil memeluk pelampung masing-masing.
Agak ke tengah, ombak tenang. Kami pun tenang. Â Mulai mampu berbicara-bicara lagi. Saat ombak seperti itu, Kusnandi mengganti tank bahan bakar.Â
Sepanjang perjalanan mata kami selalu dapat memandang daratan berupa bebukitan di kiri-kanan. Â Bila bukit-bukit itu terlihat lebih dekat dan pohon-pohon lebih jelas, maka itu artinya kami sudah dekat dengan tujuan.Â
Akhirnya dari kejauhan kami dapat melihat dermaga hotel Mutiara. Kami bersorak lega. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 3 jam berkapal. Dengan persinggahan  di beberapa lokasi, 5 jam.Â
"Alhamdulillah. Akhirnya tiba dengan selamat," ujar kawan saya. Semua gembira dengan pengalaman baru berkapal di atas danau vulkanik terluas  di dunia, bercanda tertawa, lalu sedikit tegang karena adrenalin tertarik keluar, saat ketemu ombak.
Oya, bagi yang penasaran, biaya sewa kapal termasuk bahan bakar Rp2,8juta. Biaya makan siang Rp75 ribu per orang.
Tertarik?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H